Bulir-Bulir Aku
Aku pernah membayangkan pengandaian aku bulir-bulir air hujan. Yang menggumpal dari sikap dingin sang Bayu. Padahal mungkin Bayu hanya membantuku karena amarah Raja Siang telah membuat sedih Lautan, sampai membuat wajahnya memanas dan melepas uap uap air, cikal bakalku. Uap-uap yang juga diarahkan dengan sabar oleh Bayu dengan sikap dinginnya itu.
Tiupan Bayu menyatukan uap-uap menjadi awan-awan. Dibiarkannya awan-awan itu berarak-arak, bertemu satu sama lain. Kadang membumbung tinggi, kadang bergerak ke barat, atau kadang dibiarkan diam sebentar. Lantas bulir bulir aku mulai tercipta. Awan-awan yang terlanjur gendut tak lagi kuat menahan bulir-bulir aku dan aku-aku yang lain. Saat itulah aku akan dilepaskan. Bebas.
Kadang Bayu memang tidak rela dan mengirimkan angin besar, membuatku berputar-putar. Namun Bayu tidak sesering itu tidak rela. Seperti seorang ibu, Bayu melepas bulir-bulir yang ia tuntun perlahan ke atas awan untuk terjun bebas kembali ke daratan, menemukan jalannya sendiri untuk bermuara ke Lautan. Tidak peduli, apakah bulirku yang satu menghantam batu besar atau jalan aspal atau langsung menghujan wajah Lautan.
Kalau Bayu adalah waktu, maka aku akan menjelma manusia yang tumbuh, berkembang, dan berputar-putar dalam siklus menguap, bertemu orang baru, berbaur dengan lingkungan, dan mendapati permasalahan. Dalam satu siklus, aku akan tercipta dalam selaksa bulir-bulir air, bulir-bulir buah pikir. Dan pada tiap-tiapnya, ada selaksa kemungkinan apakah akan menghantam batu kerikil atau tanah berlumpur. Namun tetap Lautan menjadi muara.
Andai aku adalah bulir-bulir air hujan, aku akan terus berputar dalam siklus dan menemui jutaan kemungkinan yang disebut takdir kehidupan. Dengan banyaknya percabangan, tiap bulirnya akan memiliki kemungkinan berbeda, dan semuanya membuatku berdebar. Seperti saat bulir-bulir air hujan menghantam tanah atau jalanan. Bulirnya akan tercerai berai. Mengahasilkan bulir-bulir kecil lainnya yang berbeda-beda jumlahnya, berbeda-beda suaranya, berbeda-beda bentuknya, dan berbeda-beda juga perasaan yang ditimbulkannya.
Rintik hujan di rumah nenek yang sepi, percikan genting yang jatuh membasahi aku kecil hujan-hujanan dengan tawa riang, atau seseorang yang hanya sekadar memandang jendela luar dengan membiarkan pikirannya tenggelam pada kenangan silam. Semuanya memiliki nuansa berbeda.
Andai kau bulir-bulir air hujan, kira-kira kau akan memberikan rasa yang mana?
Tentang Penulis
Belakangan ini Yayan Deka memang sering menulis dengan pengandaian. Katanya, cara termudah mendapatkan sudut pandang lain adalah dengan mengandai. Melihat hal dengan hal yang tidak pernah kita rasakan sendiri, lalu biarkan selaksa perasaan lain memenuhi tubuhnya. Membiarkan jari-jarinya menuliskan menjadi kata-kata.