Siklus Menyebalkan: Biarkan Aku Curhat Hari Ini

April 11, 2025
white-feather-on-body-of-water-in-shallow-focus

Aku punya sebuah siklus yang sudah sejak lama selalu terjadi. Siklus yang membuatku tetap mendekam di zona introvert dan pesimis. Aku paham ini memang tidak baik dalam waktu-waktu tertentu dan dalam jangka lama, tapi itulah yang terjadi. 

Kalau digambarkan secara sederhana, aku hanya terlalu muluk-muluk menginginkan banyak hal. Padahal kemampuanku sendiri tak banyak berkembang. Rasanya, menjadi manusia serakah yang tak tau bersyukur. Namun ini bukan soal syukur, soal yang aku dapat? Tidak. Ini lebih kepada aku: manusia yang tak berusaha banyak padahal pikirannya mau banyak.

Rasa kesalku bukan pada apa yang kudapat sekarang, tapi pada komitmen yang ternyata cuma bualan. Semakin dipikirkan, semakin terasa bahwa apa yang kumau hanya ada di mulut dan tetap di dalam kepala. Aksinya entah ada di mana. 

Lama-lama kumpulan rasa kesal ini menjelma muak yang berakhir membawaku pada siklus ini lagi. Menyalahkan diri sendiri, kecewa, dan mengeratkan gigi untuk rasa sebalnya sungguh amat sangat mudah di dalam siklus ini. Tidak perlu menunggu malam atau lagu sedih, perasaan ini sungguh tidak stabil.

Lagipula, aku tidak sedih. Rasa muak ini lebih banyak berupa kumpulan rasa-rasa penuh amarah yang membuat dadaku berdetak lebih cepat. Pikiranku sendiri tak begitu jernih dan mudah hilang fokus. Barangkali karena aku menumpuk banyak ekspektasi yang diamini harapan. Sampai pada tetes terakhir rasa harap, ekpektasi yang tak kunjung menjelma nyata, membuatku perlahan menggila.

Tidak. Aku masih cukup rasional untuk disebut gila. 

Ah, entahlah. Entah apa yang tengah aku celotehkan.

Yang lebih menyesakkan dari siklus ini adalah pikiranku yang tak bisa positif. Bahkan kalimat positif yang kau ungkapkan terasa menindasku perlahan. Aku tidak sebaik itu, sungguh. Sementara hal-hal negatif atau candaan terasa begitu menusuk. Memperkuat pesimis yang sedang membentang. Bahwa benar. Benar sekali. Aku memang seburuk itu, bahkan lebih buruk lagi.

Aku tidak bisa menjadi sosok yang menyebarkan hal-hal positif. Namun aku juga tak mudah dipengaruhi sekitar. Seorang egois yang terjebak dalam zonanya sendiri. Berpikir seolah benar. Berpikir seolah salah. Berpikir seolah sedih. Berpikir paling sakit. Paling buruk. Paling sial. Paling beruntung. Sekaligus berbeda. Entah apa pula gagasan-gagasan penuh paradoks yang sedang aku rasakan.

Rasa-rasanya aku bisa menyebarkan rasa iri pada semua orang yang kutemui. Bosan sekali di dalam siklus ini. Meski begitu... sepertinya aku tidak berniat berusaha keras untuk menghilangkannya. Karena rasanya, aku bisa tetap dalam kendali selama ini juga karena adanya siklus ini.

Siklus yang sangat kubenci tapi juga aku senangi. Ungkapan seperti hidup enggan mati tak mau terasa menjadi begitu nyata. Karena meski sulit hidup demikian, matipun sangat menakutkan. Dan karena itu pula, akhirnya aku menjadi serakah dan bergerak. Meski perlahan, aku akan mencoba berdamai dengan waktu. Satu persatu, sedikit demi sedikit, melompat meski yang satu belum selesai, lalu kembali lagi. Berputar. Terus-menerus. Meski lambat. Meski tau-tau sudah tahun depan lagi. Meski tau-tau sudah dapat undangan nikahan lagi. Meski akhirnya banyak hal yang jadi terlewat... aku akan yakin pada kisah kolosal ini: kehidupan.

Bukankah akan ada suatu alur kisah jika terus memainkan peran?


Semarang, 11 April 2025 (Jumat malam, 19.10)

Yayan Deka