Apa kabar manusia-manusia yang sedang melintasi zona quarter life crisis? Senang sekali hari ini tidak terjaga semalaman menunggui hati dan kepala yang saling bersahutan. Ngomong-ngomong, selamat datang dan selamat menjalani petualangan empat labirin di zona quarter life crisis. Labirin-labirin yang tepat dimulai dengan salam perpisahan kepada jam tidur siang, uang saku harian, keluarga di kampung, teman-sahabat yang kini berbeda jalur, atau hal-hal menyenangkan lain yang tak bisa lagi dilakukan dalam rutinitas harian.
Tersenyumlah dulu, tarik napas dalam-dalam, buang perlahan. Aku bersamamu di zona ini, kita akan baik-baik saja. Biar aku ceritakan hasil penelitian Dr. Oliver Robinson (2013) yang memberikan petunjuk melintasi labirin-labirin ini: locked-in, separation, exploration, dan rebuilding.
Labirin pertama, locked-in, memberikan efek debuff pada hati dan menimbulkan perasaan-perasaan kacau, kecewa, sedih, marah, bingung, kehilangan arah, serba salah, dan selaksa perasaan lain yang perlahan membuat dada begah. Perasaan yang mulai mengingatkanku pada kenangan masa kecil saat melihat om dan tante yang dulu melamun di depan rumah, entah memikirkan apa, ternyata itu aku sekarang. Atau jawaban-jawaban yang tidak sesuai dengan kalimat tanya yang dilayangkan, karena kepala asik memikirkan banyak tanda tanya lain yang makin beranak pinak. Tanpa terasa, tujuh tahun telah berlalu. Surat panggilan orang tua sampai di rumah, peringatan dropout karena skripsi tak kunjung selesai. Bertambah lagi satu hal yang lebih besar untuk dipikirkan di tiap malam.
Labirin pertama membuatku bak ikan mas yang dilepas di lautan luas. Tadinya tidak asin seperti ini, bagaimana bisa sama-sama air memiliki rasa yang amat sangat berbeda? Rasanya, aku jadi semakin sulit bernapas. Membuat mata terjaga sepanjang malam. Menghilangkan rasa lapar. Belum lagi soal uang kebutuhan harian yang ternyata hampir habis. Memunculkan sebuah pertanyaan yang menyesakkan, "Sebenarnya selama ini aku hidup di mana? Untuk siapa? Pada garis waktu yang mana? Apa aku benar-benar bisa hidup dengan begini keadaannya?"
Pertanyaanku masih banyak di kepala, tapi kuputuskan memasuki labirin kedua, separation. Semesta telah memaksa mengambil keputusan, mengabaikan berbagai pertanyaan yang belum sempat menemukan jawaban. Kalau berhenti sekarang, aku akan kehilangan tujuh tahun, mengaminkan kesia-siaan. Aku tidak rela mengarsipkan tujuh tahun menjadi dokumen usang yang memperburuk cerita masa lalu kepada cucuku kelak. Jalan yang aku pikirkan adalah menerima paksaan semesta dan memaksakan diri dengan ini.
Aku memikirkan ulang segala hal yang sedang dilakukan dan ke mana saja waktu ini kuhabiskan. Seberapa lama tidur, bermain gawai, menuruti hobi, bekerja, dan menunaikan kewajiban. Apakah makanku teratur? Tidurku tepat waktu dan cukup? Semakin banyak aku menginterogasi diri sendiri, semakin banyak fakta-fakta menyebalkan yang membuat semakin benci dengan diri sendiri. Bagaimana bisa sebagian besar waktu luang habis hanya untuk scroll media sosial, melihat status orang-orang, berbagi meme, bermain game, dan rebahan? Sementara sisanya habis untuk tidur dan terjaga semalaman. Belum lagi soal hubungan yang kerap kali menyita banyak waktu, pikiran, dan perasaan. Bukan karena jomblo dari lahir, bukan pula karena diselingkuhin, bukan juga karena ditikung, dan bukan karena ditanya soal kepastian dan bingung bagaimana harus menjawabnya. Melainkan karena ada begitu banyak hal, begitu banyak pertanyaan, begitu banyak soal-soal yang tak sempat terjawab, sementara waktu dan keadaan mulai mendesak, perasaan mulai sesak, pikiran buncah di dalam tubuh yang seharusnya masih muda, meski sendi-sendi terasa rapuh dan menua. Rasa muak ini mulai memuncak saat melihat diri sendiri di dalam cermin. Lihatlah mata panda dan kerutan-kerutan itu, perhatikanlah botak di sisi kanan kiri yang membuat jidat lebih lebar dari tanah lapang, dan bibir yang mulai lupa dengan senyum lebar.
Sungguhkah ini diriku sekarang?
Rasa iri semakin memuncak selaras dengan dorongan-dorongan dari berbagai perasaan yang meluap saat melihat pembaruan-pembaruan status teman-teman di media sosial. Melihat si A yang sekarang sedang lanjut studi di luar negeri, si B yang jalan-jalan lagi, si C yang mesra dengan pasangannya, si D yang asyik dengan kesendiriannya, si E yang merebahkan sayap di dunia kerja dengan menampakkan rapat dan perjalanan dinas ke mana-mana, si F yang pamer harta terbarunya, dan si G tak pernah membuat status yang tidak lain adalah aku sendiri. Rasanya, aku berada di titik puncak muakku saat menyadari bahwa diri ini bukan siapa-siapa selain beban orang tua yang tidak bisa apa-apa. Tidak tau kelak akan menjadi apa. Tidak tau akan hidup bagaimana nantinya.
Berbekal rasa muak yang mendalam, aku mulai memutuskan fokus pada satu hal. Setidaknya, ada satu hal yang harus aku selesaikan. Tujuh tahun yang berlalu, mari tutup dengan wisuda yang membahagiakan dan membanggakan. Setidaknya masih ada orang tua yang mengharapkan putra putrinya lulus dan menjadi sarjana. Biarlah tetangga menggunjing dan teman-teman memulai kehidupan baru, meski terlambat, selesai lebih baik dari melarikan diri. Dengan ini, aku memaksa diri untuk selalu bertemu dosen pembimbing skripsi, menahan malu bertemu dengan adik tingkat, dan belajar tidak menambahkan perasaan pada setiap pertanyaan "lulus kapan" yang mereka-mereka lontarkan. Atau pertanyaan "kapan nikah" karena umur sebaya sudah punya anak yang akan masuk TK.
Ternyata, tidak butuh waktu lama, tidak sampai dropout menjadi nyata, tanggal wisuda sudah di depan mata. Hal-hal menyeramkan yang memenuhi kepala perlahan mulai berkurang. Rasa lega yang aku rasakan saat ini mengurangi frustasi atas ketidakmampuan diri. Meski emosiku tetap tersulut saat mengingat tujuh tahun yang dihabiskan, tapi foto keluarga dengan toga menenangkanku perlahan. Hingga akhirnya aku bisa memasuki labirin ketiga, exploration.
Labirin ketiga hampir menjebakku untuk kembali mengulang labirin pertama. Efek yang ditimbulkan dari selesainya labirin kedua membuatku cukup yakin untuk berusaha dan belajar menjadi manusia seutuhnya: mendapatkan pekerjaan, memenuhi kebutuhan, tak lagi menjadi beban keluarga, makan-makan dengan gaji pertama, menyiapkan work-life balance, menemukan pasangan, dan menempuh hidup yang menyenangkan. Hei, bangun! Jangan mengandai-andai!
Mencari lowongan pekerjaan memang mudah, tapi mendapat yang sesuai kemampuan dan keinginan hampir membuat menyerah. Wawancara mudah, gaji pun rendah. Masuknya sulit, keluar sulit, job desk melilit, jadwal lembur sengit, dan kuota cuti amat sedikit. Di mana work-life balance-nya? Kapan makan-makannya? Mana calon pasangan hidupnya? Padahal usia semakin menua, tapi berkenalan dengan orang baru saja begitu melelahkan rasanya. Sudah selesai mengandai-andai hidup menyenangkan karena berhasil lulus setelah tujuh tahun? Sudah puas mendapat pekerjaan nine to five, kehabisan waktu bersantai, sementara dompet tipis di akhir bulan? Sudah yakin mencari pekerjaan dari hobi dan kehilangan satu-satunya kegiatan yang memberikan efek healing di sela-sela kesibukan keseharian?
Beberapa lontaran kalimat "masih muda, dicoba-coba dulu aja" membuatku jadi kutu loncat. Tidak cocok dengan gaji, ganti. Tidak pas dengan pimpinan, keluar. Tidak bisa mengelola perasaan karena banyaknya pekerjaan, pindah. Mudah sekali rasanya. Hingga kemudian semesta kembali mendesakku dengan fakta: tidak lama lagi menginjak kepala tiga. Bukankah melelahkan hidup sendirian menghabiskan waktu siang bekerja, lantas malam untuk makan, tidur, dan sedikit hobi saja? Hal-hal yang sama berlalu setiap saat dan pertanyaan "kapan nikah" terdengar lebih meresahkan. Namun, setelah mengeksplorasi berbagai kombinasi kehidupan, kepala ini mulai memilah-milah, menimbang-nimbang, merasa-rasakan hal-hal yang lebih masuk akal. Sebuah gambaran yang lebih realistis terlukis di lubuk hati. Langlah demi langkah tergambar di kepala bak rangkaian antar neuron yang terhubung menjadi sinapsis di dalam otak. Sinyal-sinyal yang menunjukkan arah untuk tubuh ini bergerak di atas sebuah tali yang selaras dengan garis waktu kehidupan. Aku berhasil memasuki labirin keempat, rebuilding.
Labirin terakhir yang akan menuntunku menjadi dewasa seutuhnya, menunjukkan siapa aku sebenarnya, apa-apa saja yang bisa dan tidak bisa aku lakukan di dunia, memperjelas hal-hal yang perlu dibuang karena memenuhi kepala dan mana yang harus dikejar meski sampai ke ujung dunia.
Aku menciptakan sebuah rumah baru. Memilah kotak-kotak pondasi yang akan dipasang tembok melingkar dan atap di atasnya. Aku menyadari bahwa tidak semua hal yang pernah aku tau, pernah aku pelajari, dan pernah aku sukai bisa dilakukan dan didapatkan semua. Tidak. Hal-hal dasar yang banyak itu tidak akan pernah menjadikanku dewasa. Hanya perlu memperjelas langkah selanjutnya untuk menuju titik paling cerah yang menggetarkan hati. Cukup dengan semangat yang bisa dipelihara tanpa harus menggebu-gebu. Serta kesadaran bahwa ketidakmampuan akan satu hal tidak menjadikanku gagal sepenuhnya.
Tidak ada manusia yang sempurna. Tidak ada manusia yang bisa mendapatkan semuanya. Tidak ada satupun yang akan tepat waktu untuk siap menghadapi masalah yang ada, hal yang harus diputuskan segera, dan langkah yang diambil selanjutnya. Karena keragu-raguan pasti akan selalu ada. Semakin sering rasa sakit, marah, sedih, kecewa, dan selaksa bentuk perasaan lainnya yang muncul akan membuat diri semakin terbiasa, kaya, berpengalaman, dan kuat dengan perlahan tapi pasti.
Aku bukan seseorang yang luar biasa. Pun bukan orang yang kuat menjalani berbagai cobaan berat. Namun, meski sambil mengeluh dan menangis, aku adalah orang yang akan tetap berjalan perlahan dan menengok lagi langkah-langkah yang pernah dilalui. Orang yang memutuskan egois demi melindungi perasaan, karena menyangkal diri sendiri hanya menumpuk emosi yang menyesakkan hati. Mengetahui betapa banyak ketidakmampuan justru membuatku menyadari sedikit hal yang menjadi amat sangat berharga, yang ternyata selama ini selalu ada di sekitar tanpa pernah mendapatkan perhatian yang nyata.
Berdamai dengan diri adalah bentuk tertinggi keseimbangan di dalam kehidupan seorang manusia. Karena musuh terbesar dari segala hal yang memenuhi hati dan membuncahkan kepala adalah diri sendiri. Mimpi buruk yang akan selalu menghantui apapun jalan yang dilalui. Menerima apa adanya kita bukan berarti menyerah dan menjadi lemah, cengeng, menyedihkan, atau munafik. Karena bagaimanapun, apa yang telah terjadi dan dilalui adalah kepingan puzzle yang membentuk diri ini menjadi manusia seutuhnya. Manusia dengan segala kelemahan sekaligus kekuatan di berbagai parameter berbeda pada setiap pribadinya. Berdeba, spesial, dan hanya ada satu di dunia. Jadilah diri sendiri dan bersinarlah. Kita akan menyelesaikan empat labirin di zona quarter life ini dengan cahaya keyakinan. Lalu melanjutkan garis waktu kehidupan.
Semarang, 6 Februari 2025 (tengah malam)
Yayan Deka