"Ayo masuk, sebentar lagi malam."
Ibu menepuk pundak, lantas masuk rumah lebih dulu. Aku menghela napas, menunduk mencerap rumput basah hujan barusan, lalu menerawang jauh menembus barisan pohon-pohon jauh di barat laut sana. Gelap. Kecil. Hijau. Dan basah, mataku berusaha menahan air mata agar tak ikut basah.
Aku takut. Wajahmu kini mulai terasa pudar. Gambaran di kepala tentangmu kini semakin seperti mimpi. Sangat jelas sebelum bangun, lalu hilang saat membuka mata. Apakah aku perlahan melupakan janji sakral kita? Berdosakah aku yang melupakanmu? Tidakkah kau ingat bahwa kita seharusnya hidup bahagia bersama, kenapa kau pergi begitu saja meninggalkanku?
Bagaimana caraku menepati janji jika kau tak lagi di sini?
Hari-hariku kini terasa seperti potongan kumulonimbus yang tertinggal di langit, tapi hujan telah reda sepenuhnya. Aku tak bisa mengikutimu yang telah jatuh dan mengalir perlahan ke lautan. Tertinggal di awan, menunggu evaporasi-kondensasi-koalesensi selanjutnya. Apakah kau akan ada di siklus selanjutnya?
Aku tidak tau. Aku yakin, kau pun tidak tahu. Aku tidak lagi bisa mengharap apa-apa. Harapan tanpa kenyataan hanya membuat dada terasa menyesakkan. Lagipula ini bukan salahmu atau salahku juga. Hanya ... kalau saja bisa bertemu denganmu lebih awal dulu, mungkin takkan begini sesak rasanya. Teramat ingin mengiklaskanmu, tapi tidak dengan perasaanku. Namun, meski perlahan kepala mulai lupa garis wajah dan senyum itu, perasaanku abadi mencintaimu. Aku benar-benar merindukanmu.
Semarang, 8 Februari 2025
Yayan Deka