"Rutinitas" adalah puisi kontemplatif yang menggambarkan perasaan kelelahan mental dan kebingungan di tengah hiruk-pikuk ambisi duniawi. Ditulis oleh Yayan Deka, puisi ini mencerminkan pergumulan batin antara ambisi besar dan kesadaran akan ketenangan yang terkadang terasa menyenangkan, namun dapat berujung pada perasaan hampa. Ditulis di Semarang pada 7 Agustus 2024, puisi ini mengajak pembaca untuk merenungkan tujuan hidup mereka, memeriksa kembali rutinitas harian, dan mencari makna di balik kesibukan dunia.
Puisi: Rutinitas
Sejenak Berhenti
Yang sedang
Memenuhi kepala
Meminta perhatian mata
Terngiang di telinga
Sibuk dalam dunia
Ambisi besar
Mimpi yang terlalu besar
Harapan yang jauh lebih besar
Sebenarnya apa yang kukejar?
Pada satu waktu
Diam sangat menyenangkan
Hening begitu menenangkan
Sendirian dalam kegelapan
Meski lama-lama menyedihkan
Duduk di sudut ruangan
Menjadi trenggiling jadi jadian
Sambil melirik ke luar jendela
Melepas jutaan pandang dan tanya
Apa yang sedang kulakukan?
Ini perasaan apa? Terjebak rutinitas dunia?
Dan bla bla lainnya
Semarang, 7 Agustus 2024
Yayan Deka
Analisis Puisi
"Sejenak Berhenti" menggambarkan perasaan kebingungan eksistensial yang sering muncul dalam kehidupan modern yang penuh dengan ambisi dan mimpi besar. Dalam bait pertama, penulis menggambarkan kesibukan yang memenuhi pikiran, menuntut perhatian indra, dan membebani seseorang dengan ambisi yang melampaui batas.
Bait pertama: Menunjukkan bagaimana dunia luar dengan cepat menguasai pikiran, melalui metafora "memenuhi kepala" dan "meminta perhatian mata." Ini menggambarkan beban mental yang terus bertambah saat seseorang berusaha mencapai ambisi besar dalam hidup.
Bait kedua: Di sini, penulis mulai mempertanyakan esensi dari ambisi tersebut. "Ambisi besar, mimpi yang terlalu besar, harapan yang jauh lebih besar," frasa ini mencerminkan ketidakpuasan terhadap dorongan ambisi yang seakan tidak ada akhirnya. Pertanyaan retoris "Sebenarnya apa yang kukejar?" menyoroti krisis identitas atau kebingungan tentang tujuan hidup.
Bait ketiga: Kontraposisi yang menarik muncul ketika penulis mulai merasakan ketenangan dalam keheningan. "Diam sangat menyenangkan" dan "hening begitu menenangkan" menggambarkan momen kontemplatif yang memungkinkan seseorang untuk melihat dunia dari luar. Namun, kesepian yang datang seiring waktu bisa menjadi menyedihkan, mencerminkan kontradiksi antara ketenangan dan kekosongan.
Bait terakhir: Dalam gambaran yang imajinatif, "Menjadi trenggiling jadi jadian," penulis mungkin menyimbolkan keinginan untuk berlindung dari dunia, seperti trenggiling yang menggulung dirinya sendiri. Melirik ke luar jendela bisa dianggap sebagai simbol untuk melihat dunia dari kejauhan dan bertanya tentang rutinitas harian yang membuat seseorang merasa terjebak. Frasa "dan bla bla lainnya" di sini digunakan sebagai bentuk kritikan terhadap kesia-siaan dari rutinitas tersebut.
Penutup dan Refleksi
Melalui puisi ini, Yayan Deka mengajak pembaca untuk merenungkan kehidupan modern yang sering kali terlalu cepat dan penuh ambisi, sementara ada keheningan dan kesendirian yang mungkin lebih menyenangkan dan menenangkan. Puisi ini menggugah pertanyaan mendalam tentang apa yang sebenarnya kita kejar dalam hidup, dan apakah rutinitas duniawi yang kita jalani sebanding dengan harga yang kita bayar dalam hal ketenangan jiwa.