Regiga, Selamat Tinggal 

Maret 18, 2023


Photo by Sasha Freemind on Unsplash
Aku membalik badan, menggigit bibir bawah sembari menahan air mata. Aku berjalan cepat. Aku ingin segera pergi. Pergi menjauh dan melupakannya.

Regiga. Entah kenapa, perasaanku tak karuan jika berhubungan dengan makhluk satu ini. Entah sejak kapan juga aku mulai terbiasa mengumpat segala rasa yang berkecamuk di kepala. Dan entah sudah berapa kali juga ia menanggapi dengan sabar. Kadang aku merasa dia terlalu sabar sampai pada titik aku tak lagi kuat menanggapi perangainya yang kelewat sabar.

Aku tau perasaanmu kusut. Pikiranmu buncah. Hidupmu terasa seperti kapal pecah. Seperti helai demi helai benang yang tergerai panjang lalu digulung paksa dalam sekejap. Tak jelas lagi betapa kusutnya. Tapi aku di sini untuk merangkai tiap helainya agar kembali tertata rapi. Agar bisa kembali digunakan untuk merajut perasaan baru untuk orang yang benar-benar menyukaimu. Tidakkah kau menyadari kehadiranku?

Aku mengakhiri sebuah cerita singkat yang kutulis untuk mengakhiri hubunganku dengannya. Hari ini. Tepat hari ini. Aku akan menemuinya di kafe biasanya.

***

Berbekal ransel besar, aku melangkah masuk ke kafe janjian kita. Baru selangkah, masih di bingkai pintu, aku dapati Regiga yang terduduk dengan dua buah cangkir kopi di meja. Satunya tentu pesananku. Sementara wajahnya yang tampak sendu terlihat melamun ke arah jendela. Aku mengeratkan gigi. Bagaimana bisa aku menyukai pria yang tak pernah memberikan tempat di hatinya untukku?

Aku kembali melangkah mendekati mejanya. Lantas aku lemparkan ransel di atas meja.

“Brengsek!” Bentakku. Ia tersentak sesaat lalu tersenyum.

“Halo, baru datang udah marah-marah aja.”

Senyumnya yang sendu membuatku merasa bersalah. Aku mengucap maaf lalu duduk. Melalui beberapa kalimat, aku tau bahwa ia sudah di sini sekitar sepuluh menit, diam melamun, menungguku datang. Sekali lagi, aku benar-benar tidak tau harus bagaimana. Apakah perasaanku ini telah menjadi obsesi?

Aku begitu menginginkannya, tapi aku tak bisa mendapatkannya. Ia sudah seperti rumah untukku, sekaligus penjara atas perasaanku. Perasaanku yang tak bisa beralih ke lain pria. Namun rasanya, perasaanku ini tak pernah sampai padanya.

Namun seperti tujuan awalku. Aku mengeratkan gigi, menghela napas, dan mengucapkan kalimat perpisahan. “Aku udah gak ada waktu lagi buat kamu. Selama ini udah cukup. Aku ngga sesabar itu buat nunggu kamu lebih lama dari ini.”

Aku membalik badan, menggigit bibir bawah sembari menahan air mata. Aku berjalan cepat. Aku ingin segera pergi. Pergi menjauh dan melupakannya. Barangkali, dengan begitu, aku bisa meredakan perasaan obsesi yang timbul. Perasaan menginginkannya menjadi milikku. Perasaan yang barangkali memang terlalu lancang untuk diteruskan.

Apakah aku akan benar-benar bisa melupakannya? Entahlah. Biarkan air mataku mengalir dulu. Aku tak bisa menahannya lebih lama lagi. Kurapatkan gigi, kutekuk kaki, dan kupeluk paha di samping ranjang kamar. Aku melenguh panjang, “Re-gi-ga… selamat tinggal.”


Halo…

Cerita ini adalah sekuel dari cerpen Zahrotus Sholihah yang berjudul Kedua Kalinya. Silahkan bisa coba baca dulu di halamannya ya.

Cerita ini ditulis selama kurang lebih 15 menit tanpa revisi atau dibaca ulang. Jadi entah bagaimana jadinya. Terimakasih sudah membaca.

Salam hangat,

Yayan Dwi Krisdiantoro

#ydkrisdiantoro