Mataku seekor katak
Yang mencerap langit saat hujan
Membiarkan tubuhnya basah
Tetes demi tetes yang semakin lebat
Semakin terasa berat
Ia diam menikmati keadaan sejenak
Lantas berteriak,
“Katak!”
Semarang, 23 November 2023.
Sedikit cerita di balik tulisan ini.
Aku sedang mendengar lagu, yang membuatku membayangkan sebuah keadaan di mana aku berdiri menghadap langit saat hujan, membiarkan wajahku basah kuyup. Tentu saja, air itu tidak berasal dari hujan saja, tapi juga mataku.
Kata utama yang terpikirkan adalah menangis. Lantas ada gejolak yang ingin membuatku marah dan mengumpat. Dan aku menulis.
Menangis dan mengumpat. Air dan hujan. Aku.
Aku ingin melibatkan diriku dalam tulisan, tapi tidak mau terlalu terlibat. Dari tangisan, yang keluar dari mata. Benar. Mata. Mataku. Tapi terlalu jelas. Hujan dan mengumpat. Katak! Kalau hujan biasanya ada katak yang berteriak teriak. Andaikan mataku adalah katak. Dan seterusnya. Berakhir mengalir dan aku selesai menulis.
Puisi Katak tercipta dengan pikiran randomku. Kenapa teriakan katak adalah “Katak!”? Karena biasanya orang mengumpat dengan nama binatang, tapi aku tak mau terlalu mengumpat karena sedang menangis. Jadi aku menggunakan katak.
Kurang lebih, begitulah caraku menulis selama ini.
Salam hangat,
Yayan Deka