"Katak" adalah puisi yang menggambarkan pengalaman emosional yang dalam, di mana penulis, Yayan Deka, menggunakan simbolisme katak untuk merefleksikan perasaan menangis dan kemarahan. Ditulis di Semarang pada 23 November 2023, puisi ini menangkap momen intim di tengah hujan, mengajak pembaca untuk menyelami kedalaman emosi yang sering tersembunyi di balik ekspresi sederhana.
Puisi: Katak
Mataku seekor katak
Yang mencerap langit saat hujan
Membiarkan tubuhnya basah
Tetes demi tetes yang semakin lebat
Semakin terasa berat
Ia diam menikmati keadaan sejenak
Lantas berteriak,
“Katak!”
Semarang, 23 November 2023.
Sedikit cerita di balik tulisan ini.
Aku sedang mendengar lagu, yang membuatku membayangkan sebuah keadaan di mana aku berdiri menghadap langit saat hujan, membiarkan wajahku basah kuyup. Tentu saja, air itu tidak berasal dari hujan saja, tapi juga mataku.
Kata utama yang terpikirkan adalah menangis. Lantas ada gejolak yang ingin membuatku marah dan mengumpat. Dan aku menulis.
Menangis dan mengumpat. Air dan hujan. Aku.
Aku ingin melibatkan diriku dalam tulisan, tapi tidak mau terlalu terlibat. Dari tangisan, yang keluar dari mata. Benar. Mata. Mataku. Tapi terlalu jelas. Hujan dan mengumpat. Katak! Kalau hujan biasanya ada katak yang berteriak teriak. Andaikan mataku adalah katak. Dan seterusnya. Berakhir mengalir dan aku selesai menulis.
Puisi Katak tercipta dengan pikiran randomku. Kenapa teriakan katak adalah “Katak!”? Karena biasanya orang mengumpat dengan nama binatang, tapi aku tak mau terlalu mengumpat karena sedang menangis. Jadi aku menggunakan katak.
Kurang lebih, begitulah caraku menulis selama ini.
Salam hangat,
Yayan Deka
Analisis Puisi:
Puisi "Katak" menampilkan metafora yang kuat dengan menggunakan katak sebagai simbol. Dalam bait pertama, penulis menggambarkan katak yang berdiri di bawah hujan, "mencerap langit," yang mencerminkan keadaan emosional yang dibiarkan terbuka dan rentan. Ketidakpedulian katak terhadap hujan, yang membiarkan tubuhnya basah, mencerminkan penerimaan terhadap perasaan yang sedang dialami.
Bait pertama: Pemilihan kata "mencerap" menunjukkan bagaimana katak, sebagai simbol, tidak hanya menerima hujan tetapi juga menghayati momen tersebut. Kata "semakin terasa berat" menambahkan nuansa beban emosional yang dialami penulis, menciptakan kedalaman dalam konteks kesedihan.
Bait kedua: Teriakan "Katak!" di akhir bait memberikan kontras yang menarik. Ini bisa dilihat sebagai ungkapan emosi yang meledak setelah periode refleksi. Kata "katak" tidak hanya merujuk pada binatang, tetapi juga berfungsi sebagai metafora untuk mengekspresikan kemarahan yang terpendam. Teriakan ini mengingatkan kita bahwa sering kali, ekspresi emosional kita terikat dengan elemen lingkungan di sekitar kita.
Refleksi
Puisi ini mencerminkan bagaimana alam dan emosi saling terkait, terutama dalam momen-momen yang sulit. Dengan mengizinkan dirinya "basah kuyup" di bawah hujan, penulis menemukan keindahan dalam kesedihan. Refleksi ini menunjukkan bahwa menangis dan berteriak adalah bagian dari proses penyembuhan dan penerimaan. Yayan Deka juga berbagi bahwa puisi ini lahir dari pikiran acak, menciptakan ruang untuk ekspresi bebas tanpa batasan. Pendekatan ini memperlihatkan bahwa dalam setiap bentuk ekspresi, ada kekuatan untuk menyampaikan perasaan yang dalam, bahkan melalui simbol sederhana seperti katak.