"Jika Hatiku Selembar Tisu" karya Yayan Deka adalah puisi yang menggambarkan perasaan kehilangan, kerentanan, dan ambivalensi dalam hubungan. Dengan menggunakan metafora tisu, puisi ini menyoroti bagaimana seseorang bisa menjadi alat yang mudah dipakai dan dibuang dalam kehidupan orang lain. Ditulis di Semarang pada 14 Desember 2023, puisi ini menyentuh tema kasih sayang yang rapuh dan refleksi tentang harga diri.
Puisi: Jika Hatiku Selembar Tisu
Jika hatiku selembar tisu yang kau ambil dari tumpukan lainnya, dan dengan kebetulan aku berada di lapisan teratas saat kau membutuhkannya, entah aku akan senang atau malah mengutuki kenyataan.
Seperti tisu pada umumnya, kau gunakan itu untuk membersihkan kotoran yang mengganggu.
Aku rasa, aku telah berjasa. Kau jelas sangat membutuhkanku. Mengusapkan lembaran hatiku ini di bibirmu. Bagaimana tidak aku terbawa perasaan? Kau langsung menyentuh hatiku.
Kau menyentuhkan ujung-ujung jarimu, mengusap pelan. Hatiku masih sangat jelas mengingat sentuhan lembut tanganmu.
Belum selesai, kau melipatnya, mencari permukaan yang masih belum digunakan. Entah kenapa, perasaanku jadi seperti ikut terlipat.
Intuisiku mengatakan bahwa akan ada badai. Badai lokal untuk hatiku yang setipis itu. Namun ternyata aku salah. Itu bukan badai. Karena sebentar kemudian, kau telah membuangku.
Aku tidak sadar karena rasanya begitu cepat. Tiba-tiba saja aku telah menggumpal menjadi seonggok tisu yang meringkuk di antara sampah makanan sisa yang tak kau habiskan.
Tiba-tiba saja aku jadi lupa sedang melakukan dan memikirkan apa.
Entah mengapa, kepalaku mengatakan kalau hatiku telah remuk dan kehilangan perasaan.
Jika hatiku selembar tisu, maka kisah ini akan menjadi aku yang kehilangan hati berkali-kali.
Namun jika hatiku selembar tisu, aku lebih suka begitu. Daripada harus hancur sendiri karena kehabisan waktu. Menjadi rapuh, lalu lebur menjadi debu tanpa sempat mengenalmu.
Semarang, 14 Desember 2023
Yayan Deka
Analisis Puisi
Puisi ini menggunakan metafora yang kuat, menjadikan hati sebagai "selembar tisu" yang bisa digunakan dan dibuang. Ini menciptakan gambaran yang kuat tentang kerentanan emosi dan bagaimana seseorang dapat diperlakukan dalam hubungan.
Bait Pembuka: Puisi dimulai dengan gambaran tisu yang diambil dari tumpukan, melambangkan bagaimana seseorang bisa menjadi pilihan sementara bagi orang lain. Perasaan ambivalen antara kebahagiaan karena dibutuhkan dan rasa sakit karena diperlakukan sebagai benda sekali pakai menciptakan ketegangan emosional.
Sentuhan: Dalam bait berikutnya, sentuhan lembut menjadi simbol cinta dan perhatian, tetapi saat tisu "dilipat" dan "dibuang," ini menunjukkan betapa rapuhnya hubungan dan perasaan. Ada transisi dari kebahagiaan menjadi kesedihan yang mendalam.
Badai dan Kehilangan: Istilah "badai lokal" menunjukkan harapan yang terpendam, namun berakhir pada kenyataan pahit saat dia dibuang. Ini menciptakan kesan bahwa cinta yang seharusnya memberi kekuatan justru berujung pada kehilangan yang menyakitkan.
Penutup: Penutupan puisi ini mengungkapkan penerimaan akan keadaan. Jika hatinya adalah selembar tisu, penulis memilih untuk tidak hancur secara perlahan, melainkan menginginkan cara untuk menghindari rasa sakit yang lebih dalam.
Refleksi
Puisi ini mengajak pembaca untuk merenungkan tentang kerentanan dalam hubungan dan bagaimana cinta dapat menjadi sumber kebahagiaan sekaligus rasa sakit. Dengan metafora tisu, penulis menggambarkan bagaimana kita sering kali diperlakukan dalam hubungan yang tidak seimbang. Dalam dunia di mana perasaan dapat dengan mudah digunakan dan dibuang, penting untuk menjaga harga diri dan mengenali nilai diri kita.