Puisi "Menjadi Dewasa" karya Yayan Deka ini menggambarkan perjalanan batin seseorang dalam menghadapi realitas dan kompleksitas kehidupan dewasa. Ditulis dengan gaya naratif yang reflektif, puisi ini mengangkat tema stabilitas, penerimaan, dan perjuangan di tengah ketidakpastian. Puisi ini mengajak pembaca untuk merenungkan apa artinya menjadi dewasa, jauh dari sekadar definisi usia, tetapi lebih kepada kematangan dalam menghadapi cobaan hidup dengan keberanian dan penerimaan.
Puisi: Menjadi Dewasa
Aku rasa …
Menjadi dewasa adalah menjadi tetap stabil meski bergoyang berguncang dalam ketidakseimbangan.
Tetap berjalan meski tersandung terjatuh berkali-kali. Keadaan tak berhenti hanya karena lutut berdarah.
Tetap berbicara meski masih tak jelas apa yang disuarakan. Omong kosong diperlukan agar terlihat meyakinkan.
Tetap membuka mata, meski menutup telinga, tangan bergetar atau gigi dieratkan. Menjalaninya tak semudah bergerak karena refleks.
Bukan ingin merengkuh gunung sembari menyelam untuk minum, tapi melihatnya terasa setinggi gunung padahal badan masih di dasar lautan.
Menyadari berbagai keadaan, tapi tak bisa apa-apa terhadapnya. Masih berkutat dengan satu entah sampai kapan, tapi harus berjalan bersama dengan dua, tiga, dan lainnya.
Mulai rabun dengan konsep-konsep sederhana, karena semua terlihat abu-abu, campuran yang tak pernah lagi terlihat murni.
Tetap tertawa memekik meski semalam menekuk lutut, menyandar dinding kamar, melihat langit gelap, membiarkan jendela terbuka semalaman dengan korden berkibar dingin tiupan angin.
Tidak semua bisa dijelaskan dalam kata.
Ia bisa saja berbeda tergantung kepala dan hati yang membawanya.
Menjadi dewasa …
Aku rasa …
Semarang, 17 Mei 2024
Yayan Deka
Analisis Puisi
Puisi ini adalah refleksi mendalam tentang apa arti menjadi dewasa di tengah tantangan hidup. Berikut adalah analisis dari beberapa bait yang mencerminkan makna yang lebih dalam:
Baris pertama: "Menjadi dewasa adalah menjadi tetap stabil meski bergoyang berguncang dalam ketidakseimbangan." Di sini, penulis mendefinisikan kedewasaan sebagai kemampuan untuk bertahan di tengah ketidakstabilan. Metafora ini menunjukkan betapa sulitnya menjaga keseimbangan dalam menghadapi hidup yang penuh tantangan.
Baris kedua: "Tetap berjalan meski tersandung terjatuh berkali-kali." Kalimat ini menggambarkan ketekunan yang diperlukan dalam hidup. Terlepas dari kegagalan atau luka, kehidupan terus berjalan, dan seseorang yang dewasa belajar untuk bangkit.
Bait ketiga: "Omong kosong diperlukan agar terlihat meyakinkan." Di sini, ada sindiran tentang bagaimana orang dewasa terkadang harus menunjukkan kepercayaan diri meskipun ada ketidakpastian di dalamnya. Kedewasaan juga melibatkan kemampuan untuk bertindak percaya diri, meskipun ada keraguan.
Baris berikutnya: Menggambarkan keteguhan di tengah ketakutan, dengan menyebut "tangan bergetar atau gigi dieratkan." Ini menunjukkan sisi manusiawi dari kedewasaan, di mana seseorang mungkin tampak kuat di luar tetapi sebenarnya berjuang keras di dalam.
Simbol gunung dan dasar lautan: Di sini, penulis menggambarkan betapa sulitnya mencapai ambisi yang terlihat begitu tinggi, padahal kondisi sebenarnya sedang "di dasar lautan". Realita dan mimpi besar sering kali tidak sejalan dalam perjalanan dewasa.
Kesederhanaan yang makin kabur: "Mulai rabun dengan konsep-konsep sederhana," menggambarkan bagaimana hal-hal yang dulu terasa jelas kini tampak samar, mencerminkan kebingungan hidup yang datang seiring bertambahnya usia dan pengalaman.
Pernyataan tentang perasaan yang tak bisa dijelaskan: Baris ini merangkum kompleksitas perasaan dewasa. Banyak hal yang dialami, tapi tidak semua dapat diutarakan.
Refleksi
Menjadi dewasa adalah proses yang tidak mudah, dan pengalaman ini berbeda bagi setiap orang. Bagi Anda, apa artinya menjadi dewasa? Pernahkah Anda merasa bahwa kehidupan hanya terus berjalan tanpa memberikan waktu bagi kita untuk mengejar ketinggalan? Apakah Anda menemukan makna atau kenyamanan dalam menghadapi realitas yang tak terelakkan?