"Bah" adalah puisi yang menggambarkan ketakutan mendalam dan pengalaman emosional saat menghadapi bencana alam. Ditulis oleh Yayan Deka pada 12 Februari 2024 di Semarang, puisi ini menggambarkan bagaimana kilat dan hujan mengubah suasana menjadi momen ketegangan dan kepanikan. Dengan imaji yang kuat dan emosi yang mendalam, puisi ini mengajak pembaca untuk merasakan kepanikan yang dirasakan penulis saat air bah mengancam keselamatan.
Puisi: Bah
Melihat kilat, mataku memejam seketika
Dua detik berlalu
Tidak terjadi apa-apa
Saat kubuka mata, kilat menyambar pohon kelapa
Menggelegar di antara rintik hujan dan angin
yang bersahutan mengombang-ambing,
dedaunan
Jeritku pecah, “Mamaa …!”
Aku berlari ke dalam kamar
Jendela masih terbuka
Korden berkibar-kibar, mengibaskan basah
Aku meringkuk di dalam selimut
Tanganku menggigil, dadaku berdenyut-denyut
Mataku tak bisa diam
Sama halnya dengan bibirku yang terus bergetar
Aku gigit jempol tangan kanan
Perlahan, kubuka selimut
Basah!
Air bah!
Jeritku menggema lagi
Berkali-kali
Bersahut-sahutan dengan kilat
Ketakutanku menderas
Sederas debit air yang terus meninggi
Namun nada tinggiku makin tak terdengar
Seperti rumahku yang tiba-tiba kandas
Seperti suaraku yang tiba-tiba menghilang
Seperti pandanganku yang seketika buram
Aku tak lagi paham
Apa yang terjadi dan bagaimana jadinya
Yang kulihat hanya lampu kekuningan
Setelah entah seberapa lama aku tenggelam
Ibuku menangis saat mataku mengerjap pelan
Aku menggenggam tangannya yang bergetar
Syukurlah …
Semarang, 12 Februari 2024
Yayan Deka
Analisis Puisi
Puisi "Bah" mengangkat tema ketakutan dan bencana melalui sudut pandang seorang anak yang mengalami langsung peristiwa alam yang menakutkan. Dalam puisi ini, penulis berhasil menciptakan suasana mencekam dengan penggambaran yang mendetail dan penggunaan bahasa yang emotif.
Bait Pertama: Diawali dengan deskripsi kilat, penulis menciptakan suasana tegang yang segera diikuti oleh momen kebingungan. Kesan ketidakpastian muncul ketika penulis merasa tidak terjadi apa-apa setelah menutup mata, hanya untuk menemukan bahwa situasi sebenarnya jauh lebih mengerikan.
Bait Tengah: Saat kilat menyambar pohon kelapa, suara gemuruh menciptakan suasana mencekam yang diikuti dengan jeritan minta tolong kepada ibu. Perasaan panik dan ketakutan semakin meningkat saat penulis berlari ke kamar, menggambarkan tindakan instinktif dalam menghadapi ancaman.
Bait Ketiga: Perasaan cemas dan fisik yang menggigil semakin jelas terlihat saat penulis menggigit jempol dan merasa basah. Istilah "air bah" menandakan bukan hanya bencana fisik, tetapi juga bencana emosional yang membuatnya merasa tenggelam dalam ketidakpastian.
Bait Terakhir: Ketegangan mencapai puncaknya saat penulis merasa seolah semua yang ada di sekitarnya menghilang, bahkan suara dan pandangannya. Kontrast antara ketakutan dan rasa syukur yang muncul ketika ibunya menangis menciptakan penyelesaian yang emosional, di mana kehadiran orang tua menjadi simbol harapan di tengah bencana.
Refleksi
Puisi "Bah" tidak hanya menggambarkan situasi berbahaya akibat bencana alam, tetapi juga mengeksplorasi perasaan manusia dalam menghadapi situasi yang di luar kendali. Ini mengajak pembaca untuk merasakan ketidakpastian dan ketakutan yang sering kali datang ketika alam menunjukkan sisi terburuknya. Dengan penggambaran yang kuat dan emosional, puisi ini mengingatkan kita akan pentingnya rasa saling melindungi dan dukungan dari orang-orang terdekat di saat-saat krisis.