Dalam "Aku dan Hujan," Yayan Deka menggambarkan hubungan antara hujan dan perasaan yang tersembunyi. Melalui metafora tetes hujan dan kenangan, puisi ini menggambarkan proses pelepasan perasaan yang sudah lama tertahan. Ditulis di Semarang pada 15 Mei 2024, puisi ini membawa pembaca untuk merenungkan perjalanan perasaan, mulai dari kenangan hingga kedewasaan yang harus dihadapi.
Puisi: Aku dan Hujan
Tetes hujan jatuh karena awan tak lagi kuat menahan air di dalamnya. Apakah perasaanku juga akan jatuh saat hati tak lagi kuat menahan kenangan di dalamnya?
Comulunimbus yang menjatuhkan bulir-bulir air
dan hatiku yang melupakan kenangan-kenangan silam.
Milyaran butir air hanyut bersama selaksa perasaan.
Gelagar petir dan kilatan terang menjadi melodi,
mengantar kepergian sekaligus pelepasan kedewasaan.
Mengalir melalui selokan,
sungai-sungai,
melalui perjalanan panjang.
Berenang dengan ikan-ikan,
dengan kecebong berkaki,
dengan botol minuman,
dengan keping-keping diriku,
dan dengan segala pertanyaan.
Dari muara ke muara lainnya,
dari kepala sampai ke rasa,
dari hati sampai ke logika,
ke laut pada akhirnya.
Meleburkan perasaanku dengan air asin.
Entah bulir yang mana.
Entah perasaan yang apa.
Entah dibiarkan mengembara,
atau dibiarkan sesat di lautan.
Semarang, 15 Mei 2024
Yayan Deka
Analisis Puisi
"Aku dan Hujan" menggunakan hujan sebagai metafora untuk menggambarkan pelepasan perasaan yang terpendam. Dalam puisi ini, hujan tidak hanya sekadar fenomena alam tetapi mencerminkan proses melupakan dan melepaskan kenangan yang menyakitkan.
Tetes Hujan sebagai Kenangan: "Tetes hujan jatuh karena awan tak lagi kuat menahan air di dalamnya," menggambarkan betapa perasaan lama dapat membebani hati hingga akhirnya melepaskan diri dalam bentuk kenangan.
Perjalanan Kenangan: Mengalirnya air hujan melalui selokan, sungai, hingga lautan, mencerminkan proses perjalanan perasaan. Ini adalah perjalanan simbolis dari kenangan yang melebur, mulai dari hati hingga berakhir pada lautan, seolah menyatu dengan kebahagiaan dan kesedihan yang pernah ada.
Kepulangan pada Kedewasaan: Gelagar petir dan kilatan terang yang mengiringi hujan adalah momen kelegaan dari beban perasaan, sekaligus simbol dari kedewasaan. Ini menggambarkan bagaimana setiap kenangan, baik yang pahit maupun yang manis, membantu seseorang bertumbuh menjadi lebih dewasa.
Lautan sebagai Pelepasan Akhir: Pada akhirnya, semua perasaan dan kenangan "melebur dengan air asin" di lautan, menjadi bagian dari pengalaman yang akan selalu dikenang, meskipun tak lagi menghantui. Laut menjadi simbol penerimaan dan keikhlasan, tempat di mana perasaan yang sesat atau tersesat menemukan ketenangan.
Refleksi
Puisi ini mengajak kita untuk merenungkan, apakah kita telah siap melepaskan kenangan yang membebani hati? Seperti hujan yang pada akhirnya menyatu dengan lautan, setiap kenangan dan perasaan yang kita miliki perlu diberi tempatnya sendiri. Kita diingatkan bahwa dalam setiap proses pelepasan, ada unsur kedewasaan dan keikhlasan yang mengantar kita menuju ketenangan.