Melangkah, Berjalan, dan Berlari

Mei 31, 2023
Photo by Chris Buckwald on Unsplash

Ada kondisi untuk mengatakan seseorang sedang melangkah, berjalan, atau berlari. Ada syarat untuk menyebutnya demikian. Namun tak ada kondisi dan syarat, apalagi larangan, untuk orang lain mengatakan, “Kau hanya berhenti di tempat.”

Jangan terlalu perasa.

Mungkin memang jalan yang kau lalui sepi, jadi tidak ada saksi. Mau hanya sekadar melangkah, berjalan, maupun berlari, itu hanya untukmu sendiri. Tidak lebih.

Suatu saat, mungkin kau akan lelah. Namun bagaimanapun juga, kau tetap melangkah, meski perlahan, sambil menahan rasa lelah, tanpa seorangpun menyaksikan. Lalu kau melihat seseorang berdiri di persimpangan. Tentu saja, itu hal yang sangat membahagiakan. Kau bergegas. Setelah sampai, kau hela napas, lalu duduk di dekat orang itu. Wajahmu tersenyum. Sumringah meski masih terengah-engah.

“Kau sedang apa?” Kata orang itu menyapamu.

Kau tersenyum. Begitu lamanya kau menapaki jalan yang sepi. Tanpa ada orang yang menyaksikan, menemani, atau sekadar menyapa. Kau hampir saja menitikkan air mata. Namun, belum sempat kau menjawab apa-apa, dia berkata lagi.

“Orang lain sudah berlari. Berlomba-lomba sejak lama. Kau malah baru datang, sudah begitu malah malas-malasan.” Ia mendecak, melirikmu sebentar, lalu mengubah pandangan ke ujung jalan yang terlihat ramai.

Kau menelan ludah mendengar kalimatnya.

Sebenarnya, apa yang kau lakukan selama ini? Apa yang kau lalui di jalan yang sepi? Apa yang sudah kau perjuangkan dengan langkah kelelahan?

Kau menurunkan ujung-ujung bibir. Menunduk. Mengemas kembali air muka bahagia yang baru saja kau tampilkan. Memasang kembali wajah lelahmu. Bertambah dengan kornea yang berkaca-kaca.

Perlahan, kau mencoba berdiri sembari menggigit bibir bawah. Ada begitu banyak pertanyaan di kepala. Ada begitu banyak rasa yang meledak di dada. Ada begitu banyak emosi yang terkubur dalam sepi, bersama dengan kepergianmu meninggalkannya di persimpangan.

Kau belum tau hendak ke mana. Kau juga belum menentukan arahnya. Kau hanya berjalan dengan hasrat ingin segera pergi. Menemukan kembali jalanan yang sepi. Jalanan yang tak perlu menghiraukan kata orang. Jalanan yang sejauh mata memandang hanya ada setapak dan pemandangan alam. Tidak ada orang lain yang menyaksikan. Jalanan yang akan membuatmu lelah, sampai lupa waktu. Jalanan itu, yang menemanimu, sebelum kau memilih jalan ramai di persimpangan.

Meski menyesal, kau tau bahwa arah jalanmu hanya bisa ke depan. Langkahmu tak bisa diseret ke belakang. Kau hanya bisa menyaksikan bekas telapak kakimu, tergambar di atas jalanan berdebu. Semakin jauh memandang, bekas langkahmu semakin samar. Semakin lama kau menatapnya, semkain lama juga kau hanya berdiri diam. Menyaksikan hal yang akan semakin pudar.

Kalau kau sekarang bertanya-tanya, bagaimana jadinya jika saat di persimpangan itu, kau tetap memilih jalan sepi yang sudah kau lalui … biar aku bantu menjawabnya, “Tidak ada bedanya.”

“Kau sendiri paham bahwa saat itu kau sudah begitu lelah. Sudah begitu muak dengan jalanan sepi yang selalui kau lewati. Menyimpang ke jalan yang lain bukanlah kesalahan. Mendengarkan kalimat orang itu juga bukan sesuatu yang memalukan. Tidak perlu ada yang disalahkan. Mungkin memang sudah seharusnya kau sadar dengan kenyataan. Bahwa apa yang kau sekarang lalui, tidak berdampak apapun kepada siapapun selain dirimu sendiri.

Lebih baik mencari kebahagiaanmu sendiri. Menggantungkan kebahagiaan kepada orang lain hanya akan memperbesar kemungkinan dikecewakan. Bukan mengajarimu menjadi egois, tapi menyadari kenyataan. Karena orang yang banyak hasrat keinginan dan harapan, seringkali lupa dengan kenyataan. Bahwa kehidupan ini memang lebih banyak ketidakjelasan, hal-hal yang tidak bisa dipastikan.

Lebih baik kau pastikan dirimu sendiri lebih dulu, sebelum menambahkan variabel ketidakjelasan di berbagai pilihan hidupmu. Apa kau sudah yakin dengan apapun kenyataannya?

Tidak perlu berlari, kau bisa berjalan atau melangkah pelan. Saat jalan di depanmu berkabut tebal, memaksakan diri untuk berlari hanya akan membuatmu kehilangan arah dan memperbesar kemungkinan terjatuh atau menghantam sesuatu. Bagus jika yang kau hantam tidak lebih kuat darimu. Bagaimana jika sebaliknya?”

Salam,

Yayan Dwi Krisdiantoro

Semarang, 31 Mei 2023.