Yang Patah Hati

Mei 28, 2023
punggung pria yang membuka pintu

Ia yang patah hati, merenung seorang diri. Kepalanya yang selalu memutar logika, ternyata bisa juga berhenti. Terpaku pada rasa sakit yang entah kenapa seperti menusuk di hati. Rasa sakit yang tidak bisa ia pahami. Rasa sakit untuk pertama kali, yang tak kasat mata, tapi sangat menyakitkan terasa.

Ia yang patah hati, menangis tersedu hingga pagi. Terjaga semalaman. Di kamar gelap, bersandar dinding dingin sendirian. Mengulang kenangan-kenangan indah yang tak pernah ia pikirkan bisa mendatangkan kesedihan. Perasaannya kacau, bertumpuk ingatan dan pertanyaan-pertanyaan yang menyangkal kenyataan.

Seseorang datang, membelai punggungnya. Mengatakan semua akan baik-baik saja. Namun siapa yang akan percaya? Ia yang patah hati, tak bisa menggunakan logika. Perasaan sedang menguasainya. Kehidupan seolah tak lagi bermakna.

Seseorang datang, mengucapkan banyak hal. “Patah hati itu bukan untuk diratapi. Kesedihan itu bukan perayaan yang harus dilakukan dengan besar-besaran. Perpisahan itu kenyataan yang pasti kepada semua yang pernah datang.” Katanya, meyakinkan.

Ia yang patah hati, perlahan mulai tenang. Seperti ketenangan setelah badai. Ada banyak hal yang berserakan, pecah atau patah, tidak lagi berada di tempat seharusnya, dan mungkin tidak bisa lagi seperti semula.

Kenyataan berdiri di tengah, menyaksikan kondisi hati yang buncah. Diam dan terus memperhatikan keadaan. Melihat puing-puing yang berserakan di depan pintu yang tegak terkunci dengan kunci yang hilang, entah hanyut ke mana. Awan mendung menyelimuti. Gelap dan lembab. Berangin dan sunyi. Kalau berteriak, mungkin hanya akan terdengar teriakan sendiri yang menggema berulang.

Seseorang datang, mengetuk pintu yang terkunci. Tidak terdengar sahutan. Lain kali, ia ketuk lagi. Masih tidak ada balasan. Lantas ia mulai sering datang, bercerita apa saja pada pintu yang tetap terkunci. Tidak menyerah, ia datang lagi. Selalu dengan ceritanya sendiri, tidak mencoba bertanya atau meminta balas kata. Ia hanya menyatakan perasaannya.

Pintu terbuka, yang datang tersenyum senang. Ia melangkah masuk, menyaksikan lubuk hati yang rentan. Denyut-denyut perasaan lemah terlihat akan berhenti kapan saja. Namun tidak ia dapati siapapun di sana. Mungkin pemiliknya telah pergi. Meninggalkan hatinya yang berantakan, yang patah, yang puing-puingnya berserakan. Atau mungkin ia pergi, bersama dengan perasaannya yang ia tambatkan kepada seseorang.

Yang patah hati tidak sadar. Ia tenggelam dalam perasaannya yang makin berkecamuk. Ia tidak melihat ada seseorang yang bertamu ke lubuk hatinya. Ke dalam ruangan yang tertutup tak lagi ada kuncinya. Tak tau bahwa ruangan itu telah terbuka. Karena ia telah pergi, lelah menanggapi hatinya.

Seseorang yang bertamu mencoba duduk dan menunggu. Ia menyaksikan ruangan kecil itu perlahan mulai gelap. Lampunya berkedip. Di luar memang mendung pekat, cuaca yang akan membuat lampu mati tanpa daya. Namun ia tetap duduk menunggu. Mencoba menggumamkan beberapa candaan dan cerita seperti biasanya.

Tiba-tiba, ruangan menjadi gelap. Yang datang terkesiap. Ia lupa waktu, entah telah seberapa lama ia duduk menunggu. Meski berat, ia beranjak pergi. Mencari tempat yang lebih terang, menghindari hujan yang turun deras dengan petir menyambar-nyambar.

Seseorang yang pergi merasa patah. Penantiannya berakhir percuma. Menimbulkan keretakan di hatinya. Mulai memunculkan pertanyaan-pertanyaan penyangkalan. Yang semakin lama, ternyata semakin ia lupa dengan keadaan hatinya yang jadi berantakan. Bahkan tak sadar jika ada seseorang yang bersemayam dan menunggunya di lubuk hati terdalam.

Kau yang patah hati, sudahkah kau sadar bahwa ada seseorang yang mengetuk pintu hatimu berkali-kali, berbagi cerita dan perasaannya, dan sabar menungumu datang, meski entah kapan. Jangan pura-pura tak sadar, mengelak pergi untuk mencari jawaban. Jawaban yang kau cari tidak di mana-mana, tapi di sini. Di lubuk hatimu sendiri.

Salam hangat,

Yayan Dwi Krisdiantoro

Semarang, 28 Mei 2023