Dia bilang sementara, tapi tidak tau akan sampai kapan. Kalau kata orang Jawa, bisa juga jadi “sementaun”. Sementara yang ditumpuk-tumpuk sampai bertahun-tahun. Tapi tenang saja, kalau disebut sementara, pasti akan ada akhirnya.
Tadinya aku tidak berniat menenangkan, karena bukan orang yang menunggu yang perlu ditenangkan. Justru dia yang mengatakan “sementara” lebih buncah dari kelihatannya. Semakin lama waktu berlalu, semakin besar pula terasa omong kosongnya bagi yang menunggu.
Lagipula, sejak awal kenapa harus dia katakan sementara? Tidak bisa menolak? Atau tidak bisa memutuskan tanggung jawab?
Dia bilang memang waktu itu abu-abu. Diminta segera memutuskan, dia terdesak tapi tak rela melepaskan. Semakin dewasa, katanya, semakin banyak yang harus dipertimbangkan. Hidupnya tak lagi miliknya sendiri. Dan keputusannya tak hanya berdampak pada dirinya sendiri.
Aku terdiam.
Dia tidak bisa menolak, karena hatinya memang tidak ingin menolak. Namun menerimanya saat ini bukan waktu yang tepat. Atau mungkin memang dia yang sudah terlambat. Kadang waktu memang berjalan cepat. Kemarin masih sekolah di SMA, sekarang sudah beranak tiga. Siapa yang akan menyangka tujuh belas tahun berlalu begitu saja? Sementara tren yang ingin dilakukan sudah kadaluarsa.
Dia mengusap ingus dengan tisu. Matanya diseka dengan punggung tangan, sambil tersenyum perlahan mencerapku.
Aku menghela napas, menelan ludah sedikit, melontarkan senyum kecil padanya.
“Ternyata detailnya lebih rumit.”
Dia melanjutkan, katanya itu tetap salahnya. Karena dengan mengatakan sementara, ia telah membuat seseorang menunggu. Membuat dirinya sendiri menunggu. Menyalakan api harapan yang hasilnya belum kelihatan. Ya memang benar pada setiap harap tak pernah ada kepastian, tapi rasanya menyesakkan kalau benar-benar seperti yang ditakutkan.
Dia mengulurkan tangannya padaku.
“Kalau bisa, pastikan sekarang juga.”
“Kalau saja aku bisa.”
Sebongkah kaca kupecahkan, ia menghilang. Tangan kananku berdarah. Rasanya tubuhku begitu lemas. Kubiarkan diriku terlutut bersimbah air mata. Tolong, biarkan aku begini dulu untuk sementara.
Semarang, 19 Mei 2024
Yayan Deka