Pelarian Tengah Malam

Mei 21, 2023
bulan di belakang bukit

Langit telah gelap dan pandanganku hanya satu setengah meter, tertutup kabut dan semak. Daunan di sekitarku terlihat hitam, masih berbisik-bisik. Yang berbeda hanya udara yang semakin dingin, bersama kabut yang bergerak lebih cepat. Mungkin karena langit benar-benar gelap. Awan mendung semakin pekat dan aku terjebak di tengah gulita. Kakiku sudah pasrah, berjalan gontai sedapatnya langkah. Jantungku masih berdetak kencang. Keringatku telah membasahi seluruh badan. Tolong, siapapun, tolong selamatkan aku sekarang!

Lengan kanan aku cengkeram kuat dengan tangan kiri. Tak bisa menahan sakitnya. Darah segarku pasti mengalir deras. Hidungku terasa tertusuk bau anyir menyengat. Sebenarnya, aku sudah benar-benar lemas, tapi aku tidak bisa pasrah begitu saja. Meski bermandikan darah, aku harus tetap hidup. Setidaknya, aku harus keluar hutan ini lebih dulu.

Aku terus melangkah. Perdu dan semak aku terjang begitu saja. Kalau dirasa-rasa, sebenarnya sekujur betis dan tulang keringku menempel bunga rumput yang tajam-tajam. Kalau diibaratkan, bunga itu seperti durian kecil dengan duri yang lebih runcing dan tajam. Perih. Namun lebih perih lagi luka luka di lengan kiriku. Mungkin tulangku hancur. Atau setidaknya retak di beberapa tempat.

Aku tahu, mungkin pelarianku ini akan berakhir percuma. Namun hanya sekaranglah saat yang paling tepat untuk kabur. Tuan sedang melaksanakan ritual bulan purnama. Ia tidak akan bisa menggunakan kekuatannya untuk hal lain, karena sudah dipakai untuk menutupi wilayah kekuasaannya dengan awan gelap. Hanya kali ini saatnya. Tidak sembarang bulan purnama Tuan melakukan ritual demikian. Karena itu, sebagai Budak — ah, tidak, sebagai manusia yang awalnya hanya pedagang wedang ronde di desa, sekaranglah satu-satunya kesempatan melarikan diri dan kembali berdagang.

Aku menyelinap keluar mansion, seharusnya tidak ada yang menyadarinya, karena semua penjaga fokus untuk melindungi Tuan yang melakukan ritual. Namun Brengsek memergokiku. Sejak awal, Brengsek itu memang tidak suka padaku, yang pendatang baru. Sedangkan aku memang sejak awal tidak suka berada di sini. Ini semua karena manusia-manusia sialan yang mempersembahkanku sebagai tumbal. Merecuniku, lalu melemparkanku ke tengah hutan dengan tubuh terikat.

Manusia apa yang masih percaya pada hal-hal gaib dan tumbal di dunia modern seperti sekarang? Bisa gila aku. Masalahnya, apa yang mereka percaya, ternyata benar-benar ada. Tuan adalah seorang tua bangka yang sudah hidup ratusan tahun di hutan ini. Ia tidak mengenal teknologi. Menurutnya, teknologi selalu berkembang ke arah kemunduran evolusi manusia. Seharusnya, manusia lebih mengembangkan dirinya sendiri, memanfaatkan otaknya secara penuh. Karena manusia memiliki kekuatan dan akal yang jauh lebih besar dari yang terlihat. Teknologi membuat manusia jadi malas menggunakan otak, menggerakkan tubuh, atau mengolah diri dengan lebih dalam. Teknologi hanya memnghabiskan waktu untuk mengembangkan diri sendiri.

Awalnya aku sangat bersyukur karena ditemukan oleh Tuan dengan pikiran yang menurutku masuk akal. Dan tentu, aku lebih menghargai Tuan daripada manusia-manusia yang melemparkanku ke tengah hutan. Sampai pada saat aku mulai paham bahwa tidak semua yang terdengar menyenangkan dan masuk akal, memang benar-benar masuk akal.

Sedari awal, pikiran Tuan sudah berbeda. Ia memang hanya seorang manusia, tapi keyakinannya atas manusia membuatnya tidak mengenal konsep kemanusiaan. Menurutnya, menumbalkan beberapa manusia untuk evolusi manusia ke depannya adalah hal wajar. Sejak ratusan tahun lalu, ia juga telah melakukan perjanjian dengan kerajaan-kerajaan sekitarnya. Ia tidak akan mengganggu kerajaan manapun dengan syarat, setiap tahun, mereka harus mengirimkan tumbalnya ke hutan tempat Tuan tinggal. Kau pasti sudah bisa memikirkannya. Benar, ia melakukan penelitian dengan manusia sebagai kelinci percobaan. Para Raja dan Pemimpin mengiyakan persyaratannya seolah itu bukan apa-apa. Kebiasaan itu berlangsung sampai sekarang, sampai era kerajaan hilang. Setiap jenis pemerintahan, tidak ada satupun yang menentang. Sederhana, karena yang menentang akan menjadi tumbal pertama. Saat kau adalah seorang pemimpin dan menentang akan membuatmu tidak hanya kehilangan posisi, tapi juga nyawa untuk selamanya, memangnya kau akan rela? Mereka lebih memilih menumbalkan rakyatnya.

Aku masih berjalan. Namun kepalaku jadi semakin berat. Mungkin karena selama pelarian ini, kepalaku memutar kembali berbagai kenangan yang terlewat. Memikirkan apa yang akan aku lakukan setelah keluar hutan. Bagaimana cara menghindari Tuan agar tidak ditemukan? Jika tujuan penelitian Tuan tercapai, mungkin aku tidak perlu menjadi tumbal. Apa sebaiknya aku kembali saja?

Tidak!

Gila! Mana mungkin setelah sejauh ini. Setelah aku berhasil menyingkirkan Brengsek yang hendak membunuhku. Kenapa aku harus kembali ke sarang psycopath gila yang dengan sadar melakukan tidakan psycopath mereka? Menyatakan bahwa itu adalah hal yang wajar. Lantas tersenyum dan tertawa karena melihatku yang ketakutan.

Tidak!

Namun aku benar-benar sudah tidak kuat. Aku tidak bisa melangkah lagi. Ah, sial, kenapa kepalaku jadi semakin berat. Apakah memang sudah segelap ini. Tidak. Sepertinya a —


Suara cicit burung samar-samar terdengar sahut-sahutan. Aku mengerjap perlahan. Terang. Tidak gelap seperti semalam. Badanku juga sudah terasa segar. Ah, ternyata aku gagal keluar hutan. Kutatap langit-langit putih yang belakangan ini selalu aku lihat sesaat sebelum dan setelah bangun tidur. Aku di kamar biasa. Ya, mungkin sekarang dan seterusnya, aku harus terbiasa. Kamar di salah satu mansion Tuan.

“Kau sudah bangun?” Ucap Tuan yang seolah tahu aku sudah bangun, masuk kamar tanpa permisi.

Aku diam saja. Mungkin lebih baik aku menjadi tumbal yang pasrah.

“Kau membunuh Brengsek.”

Aku tetap diam.

“Apa pita suaramu juga rusak? Aku hanya menyembuhkan lengan dan kakimu yang lecet-lecet. Mungkin aku harus memeriksamu lagi.” Tuan menghampiriku, mendekatkan wajahnya. Jari-jari tangannya menyentuh pipiku. Aku mengarahkan bola mata ke pojok ruangan, menghindar tatapan wajahnya.

Tuan tersenyum, melepaskan belaian tangannya.

“Baiklah, istirahat dengan baik. Pelayan akan menyediakan perawatan dan makan dengan baik. Cukup diam di kamar dan sembuh. Aku harus mencari pengganti Brengsek. Dia anjing yang setia, meski buruk rupa.”

Tuan keluar. Tak seberapa lama, Pelayan masuk. Ia adalah orang pendiam yang tak pernah terdengar berbicara. Mungkin Tuan telah mengambil lidah dan perasaanya. Sehingga ia hanya memasang wajah datar, selalu diam, melakukan pekerjaan, dan selesai.

Aku mencerapnya. Kalau saja tersenyum, dia pasti menjadi secantik bidadari dengan sayap patah yang turun ke Bumi. Sayang sekali.

Aku menghela napas, lalu bersandar. Memejamkan mata. Apakah aku akan terjebak di mansion ini selamanya?

TO BE CONTINUED


Halo,

Hari ini aku sengaja tidak menjadwalkan cerpen, menggantinya dengan cerita ini. Cerita ini mungkin akan jadi cerita bersambung. Atau mungkin juga tidak. Entah nantinya.

Salam,

Yayan Dwi Krisdiantoro