Dua Jam untuk Terlupakan 

April 09, 2023
perabot dapur

Kalaulah ini hanya mimpi, tidak masalah. Namun aku mohon, jangan bangunkan aku dulu. Jangan!

Seseorang menghampiriku dengan tatapan tidak percaya. Kenapa? Apa aku terlihat macam hantu baginya? Tapi jika begitu, seharusnya dia takut padaku. Bukan seperti ini: memandangku tanpa berkedip, bola matanya memandangi tubuhku dari ujung kaki hingga kepala. Benar-benar tatapan mengerikan. Aku risih membiarkannya begitu, jadi, “Apa yang kau lakukan? Kau gila?”

“Ah!” Ia terkejut aku bicara, kenapa pula? “Aku Man. Panggil saja begitu.”

“Ya,” Aku mengangguk dengan senyum rikuh, “Aku — “

“Aku sudah tahu,” Ia memotong ucapanku. Tidak sopan!

Aku mencoba berpikir positif. Aku mengulurkan tangan padanya, tapi, kau tahu? Ia menolak tanganku. Ia hanya memandang aneh dengan senyuman pada jari-jari tanganku, lalu bilang, “Tidak. Aku tidak bisa bersentuhan denganmu.”

Sudah tidak sopan, pun tidak menghargai orang. Manusia macam apa dia ini?

Aku menatap langit, mencari alasan. Ah, untung sekali. Awan sedang berarak tertiup angin sejuk di ketinggian. Aku yakin sebentar lagi akan hujan. Aku tersenyum, lalu menatapnya seperti biasa pada semua orang yang aku kenal, “Maaf, sepertinya aku harus cepat-cepat. Akan hujan. Aku pergi dulu.”

Begitu mudahnya. Aku masih tersenyum dengan kaki mulai melangkah pergi. Aku kira dia masih diam di belakangku. Memandang dengan tatapan yang sama anehnya, belum berubah. Namun salah. Ia berjalan beriringan di sampingku, katanya, “Aku tahu rumahmu. Aku tahu kegiatanmu. Aku tahu, kau hanya tak suka padaku. Kau memanfaatkan langit yang mulai mendung untuk pergi dariku. Benar, kan?”

Aku terhenti. Aku kelu dan sedikit terpaku, dan agak ragu menatapnya, dan akhirnya aku lari — pergi cepat-cepat darinya. Aku tidak begitu tahu selanjutnya, tapi ia tidak mengejar. Aku rasa, dengan telingaku yang aku tajamkan, ia tertawa melihat tingkahku. Siapa peduli? Dia gila! Dia benar-benar gila! Dan mengerikan! Dan menakutkan!

Aku sampai di rumah. Aku bernafas tersengal. Kenapa aku begitu takut padanya? Bukankah dia hanya seorang anak yang lebih muda dariku? Kenapa hatiku ciut begini? Aku merasakan aura mengerikan darinya. Aku tidak sedang berhalusinasi atau melihat hantu bukan?

“Man, ya?” Aku menenggak sebotol air dingin dari dalam kulkas, di dapur rumahku, “Siapa dia sebenarnya?”

“Kau bertanya-tanya tentangku?”

Aku terbelalak, hampir keluar lagi air yang baru saja aku minum. Aku letakkan kembali botol ke dalam kulkas. Aku menelan air yang sempat tertahan di rongga mulut.

“Kenapa kau lari dariku?” Ucap Man dengan tawa kecil, ia mendekatiku dari seberang luar bingkai pintu dapur.

“Dari mana kau tahu rumahku?” Aku majukan mulutku saat bicara, meski tanganku bergetar kaget.

“Aku sudah bilang, aku tahu rumahmu bahkan kehidupanmu,” Ia mendekatiku dan berdiri satu langkah tepat di depanku, “Aku menjemputmu.”

Aku terbelalak. Jangan jangan dia malaikat mautku? Aku akan mati? Tapi, kenapa tidak ia bawa senjatanya? Yang panjang melengkung, menghitam, menyilaukan itu?

“Aku bukan hantu,” Man tersenyum, “Aku juga bukan dewa kematian atau malaikat maut. Jangan pikir yang aneh-aneh.”

“Lalu,” Aku mengernyit, “Siapa kau?”

“Tidak ada waktu,” Ia melontarkan kalung berliontin biru padaku, “Pakailah kalung itu. Sudah?”

Aku mengangguk. entah kenapa aku begitu penurut, tapi, aku rasa dengan manut ucapannya, semuanya akan cepat menjadi jelas. Tentang siapa dia. Tentang dari mana dia tahu semua kelakuanku dan hidupku, dan bahkan pikiranku.

“Bersiaplah,” Wajahnya serius tanpa sedikitpun senyum atau candaan seperti tadi, “Tutuplah matamu jika takingin buta.”

Buta? Aku menutup mata segera. Tidak tahu apa yang kemudian terjadi, rasanya dalam gelap — mataku tertutup — ada cahaya yang sangat terang di luar sana. Bukankah aku di rumah, di dapur? Kenapa ada cahaya terang di rumahku? Tapi aku tetap tidak membuka mata. Kemudian aku merasa kepalaku berputar-putar. Tidak tahu, seperti aku tengah melakukan perjalanan: duduk di kursi paling belakang bus ekonomi ke tempat yang begitu jauh. Aku seperti hampir mabuk. Perutku mual. Dan panggilan Man membuatku membuka mata. Ah! Apa aku akan buta?

“Kita sampai,” Man berseru.

“Dimana kita?” Aku melihat sekitar. Ini ruangan yang berbeda. Kemana dapurku? Kemana semua perabotanku? Kenapa hanya ada sekotak ruangan kosong dengan sebingkai pintu saja? Pintu? Pintunya terbuka!

“Selamat datang Ben,” Seorang berjenggot putih tersenyum sembari berdiri mencerapku di bingkai pintu.

Ben? Jadi dia juga tahu namaku? Aku melihat Man, tapi ia malah tersenyum-senyum saja.

“Siapa,”Aku mengernyit, “Kalian?”

“Marilah duduk dulu,” Orang berjenggot putih itu mengisyaratkanku untuk keluar dari ruangan itu. Aku tidak menolak, tapi langkahku ragu. Apa yang sebenarnya terjadi padaku? Dimana aku? Apakah ini alam yang berbeda setelah nyawaku dicabut oleh Man tadi? Aku selidik memperhatikan liontin yang tadi diberikan Man. Apakah semua ini karena liontin ini? Aku hampir melepasnya jika Man tidak berteriak, “Jangan dilepas! Kau akan benar-benar mati!”

Aku terdiam seketika. Mati? Tadi dia mengancamku buta. Sekarang mati? Apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa kalian tidak juga memberi penjelasan? Aku takbutuh teh yang kalian berikan! Tidak!

“Ben?” Seorang wanita umur tiga puluhan — mengenakan liontin yang sama denganku — menatap mataku, dalam, “Kau Ben Tippet, kan?”

Aku mengernyit pada Man, memunculkan tanda tanya di kepalaku, menanyakan siapa wanita ini. Tapi ia diam saja. Dan dengan dehem kecil dari pria berjenggot putih, kami semua diam memperhatikannya.

“Sebelumnya,” Ia berdehem lagi, “Kenalkan, aku Robert Stain, dan yang menjemput kalian tadi adalah Manellius Stain, anakku.”

Man tersenyum. Mereka anak dan ayah? Aku tersenyum membalas. Ayah, aku jadi bertanya-tanya, seperti apa kiranya wajah ayahku?

“Ben,” Rob memandangku seorang, “Lihat sebelah kirimu. Wanita itu adalah ibumu, dan pria di sebelahnya adalah ayahmu.”

“Bohong!” Aku mengernyit. Apa yang dia katakan? Ayah ibuku sudah mati sejak aku kecil, kata bibiku yang meninggal tiga bulan lalu. Ia sedang memainkan sandiwara apa? Ingin mencabik-cabik hatiku yang sudah remuk-kah? Kehilangan orang tua tanpa pernah tahu seperti apa bentuk orang tuaku. Aku mengeratkan gigi dengan mata mungkin mulai berkaca, “Jangan bikin lelucon! Tidak lucu sama sekali!”

Aku membuang muka.

“Ah,” Rob tersenyum merasa bersalah kiranya, “Aku lupa memberi tahumu. Sekarang kau di masa depan. Dan kau, ibumu, ayahmu, aku undang dalam makan malamku sekarang, dari masa lalu.”

Aku kembalikan pandanganku pada Rob, lalu Man, lalu Rob lagi dan kepada wanita — dan pria di sampingnya — di sebelah kiriku. Logikaku hendak menolak, tapi hatiku berharap. Ini benar, kan? Bukan bohong? Bukan ilusi? Bukan imajinasi? Bukan mimpi?

Aku mencerap wanita dan pria di samping kiriku, lamat-lamat. Air mataku menetes tanpa bibirku bisa berkata. Ayahku? Ibuku? Cantik ibuku. Tampan juga ayahku, mungkin karena itu aku pun tampan? Aku tersenyum sambil mengusap mata. Aku masih kelu, tapi ada ledakan bahagia di dalam dada. Kalaulah ini hanya mimpi, tidak masalah. Namun aku mohon, jangan bangunkan aku dulu. Jangan!

“Kalian bisa saling menyapa sekarang, yang terpenting jangan saling bersentuh. Kalau kita, kalian, bersentuhan, akan terjadi desakan ruang waktu yang menimbulkan lubang cacing. Bahaya!” Rob berkata lagi, sedang Man hanya memperhatikan, “Dan sebaiknya dengarkan dulu semua yang hendak aku katakan.”

Wanita dan pria di samping kiriku nampak memperhatikan tubuhku dengan selidik, bibir mereka tersenyum, hangat seperti orang tua. Aku ingin sekali memeluk mereka, tapi Rob melarang. Aku alihkan perhatianku pada Rob.

Rob mulai bercerita, “Kalian punya waktu dua jam. Itu adalah batas waktu tubuh kalian bisa tetap selamat berada di dimensi waktu yang tidak seharusnya. Tapi aku tidak akan membiarkan kalian menghabiskan dua jam penuh, akan berbahaya nantinya. Kalian pasti bertanya-tanya kenapa aku melakukan hal seperti ini, bukan? Mungkin orang lain akan memandang ini tidak penting. Tapi ini sangat penting bagi kami, aku dan anakku. Aku berhasil menyelesaikan penelitian ini, perjalanan waktu, berkatmu Ben. Bukumu yang begitu hebat di masa laluku — maksudku, masa depanmu kelak. Kau mempelajari berbagai terori, berbagai kemungkinan, tentang relativitas dan begitu banyak lagi pemahaman baru yang kau tuliskan dalam bukumu. Buku itu ditertawakan oleh ilmuan dulu, tapi sangat berarti bagi kami sekarang. Dan motivasimu, salah satunya adalah hendak bertemu orang tuamu. Tapi kau gagal. Kau keburu meninggal sebelum menyelesaikan penelitianmu. Karena itu, aku mewujudkan apa harapanmu dulu, maksudku, masa depanmu.”

“Aku?” Aku mengernyit dan tertawa kecil, “Aku ilmuan? Penulis buku? Mesin waktu?”

“Takapa,” Rob meneruskan, “Apapun yang akan aku ceritakan, tidak kau percaya pun takapa. Takdir tidak bisa diubah. Mungkin aku memang menceritakannya padamu, membawamu ke masa depan, dan mempertemukanmu dengan orang tuamu. Namun yang harus kau tahu, semua yang kau lihat, kau ingat, kau jalani hari ini, semuanya akan kau lupakan. Kenapa? Begini, saat ini keberadaanmu di masa lalu telah hilang dari dunia ataupun ingatan semua orang — seolah kau takpernah dilahirkan ke dunia. Begitulah, itu alamiah sesuai logika dunia. Namun kau juga bukan apa-apa di sini. Kau sekarang berstatus sebagai virus dunia, kau akan dibersihkan dalam dua jam. Dan semua ingatan dua jam sebelum, sesudah, dan saat kau menjadi virus dunia — aku memanggilnya begitu — akan hilang. Kau akan lupa semuanya. Namun jangan takut, ingatan dua jam sebelum dan sesudah itu tidak terpotong begitu saja. Mungkin kau akan ingat bagai mimpi, tapi ingatan saat kau berstatus virus dunia, tidak akan kembali.”

Aku menebalkan kernyitanku, “Kenapa kau lakukan itu? Untuk apa aku bertemu denganorang tuaku kalau aku harus melupakannya lagi?”

“Maaf, Ben,” Rob menunjukkan mimik mengasihani, “Tapi itulah takdirmu, kehidupanmu. Tidak bisa diubah. Kau memang tidak tahu tentang orang tuamu, itu takdirmu di duniamu.”

“Tapi kenapa kau lakukan ini padaku?”

“Tenanglah,” Rob bersuara pelan, “Ini adalah perayaan atas keberhasilanku, dan dirimu. Aku memang belum menjamin benar apakah ini akan mengubah masa depanmu atau tidak, tapi aku ingin berterimakasih padamu. Kau tahu? Aku sudah tua, umurku mungkin tinggal menghitung hari. Aku mungkin egois, tapi untuk sebentar, aku ingin membagi kesenangan denganmu. Silahkan kalian berbincang-bincang. Bukankah kalian saling merindu?”

Selesai. Ucapan Rob telah usai. Ia mengedip mata pada Man anaknya, lalu pergi meninggalkan kami. Aku kikuk. Aku lihat ayah ibuku tidak begitu peduli pada penjelasan Rob. Mereka nampak senang meski hanya akan melihatku sebentar dan melupakannya lagi. Aku juga tidak begitu peduli, sebenarnya. Malah aku bersyukur. Rob orang yang baik. Membagi kebahagiaan ya? Ia sangat baik.

Baik.

Baik. Aku berlinangan air mata. Dua jam terasa begitu cepat bersama dengan orang tersayang. Betapa berharganya waktu jika kau menghormati setiap kejadian. Aku masih mencerap ayah ibu dalam dalam. Mencoba untuk mematri ujud wajahnya di kepalaku. Bukankah Rob hanya berteori jika aku akan lupa semuanya? Aku akan mengingat wajah orang tuaku. Tidak. Aku harus mengingatnya!

Rob dan Man datang menghampiri kami. Mereka tersenyum memperlihatkan arloji. Kami telah paham. Kami mengangguk dengan senyum dan mata berkaca. Kami kembali masuk ke dalam ruang kecil tempat tadi kami datang.

Rob dan Man menutup pintu perlahan dengan lambaian tangan. Sebelum itu, mereka telah bilang, “Tutup mata dan lepaskan kalung itu. Kalian akan tertarik ke ruang waktu asal kalian.”

Segera setelah itu ….

Pening! Kepalaku berputar, perutku mual, dan ada perasaan aneh di hatiku.

Aku tidak begitu paham apa itu. Yang aku sadari, aku tengah terduduk dengan mata lembab di lantai dapur. Kepalaku begitu pening. Mungkinkah tadi aku pingsan? Apa yang baru saja aku lakukan? Kenapa aku duduk di lantai? Kenapa mataku … apa aku menangis? Kenapa? Aku tidak tahu jawabannya, tapi beban hatiku terasa lebih ringan. Apa yang baru saja terjadi padaku? Aku merasa … aku harus mengingat sesuatu!


Ini cerpen yang sudah cukup lama. Semoga tidak terlalu usang. Terimakasih untuk yang berkenan membaca.

Salam hangat,

Yayan Dwi Krisdiantoro

#ydkrisdiantoro