Color-blind

Juli 10, 2023
Photo by Mouly Kumar on Unsplash

Maaf, kadang aku tak bisa menangkap semua kalimatmu yang puitis. Ucapanmu yang banyak mengandung pengandaian dengan makna konotatif, khas kebiasaan seorang penulis.

Aku akan mendengarkan, bukan karena terpaksa. Aku akan mendengarkan sampai kau selesai dan takkan menyela dengan bertanya. Aku hanya takut mengacaukan suasana jika menjeda ucapanmu yang terdengar bahagia. Tapi aku juga takut kalau kau bertanya apa aku paham. Maaf kalau saat itu, aku hanya menyuguhkan senyum atau tawa.

Sore itu, kau pernah bercerita. Perasaanmu mungkin seperti suasana senja. Kuning kejingga-jinggaan lalu mulai kemerahan. Kadang kau dipenuhi bahagia, sebentar kemudian mungkin menjadi kecewa atau kemarahan.

Waktu itu, aku tidak begitu paham. Meski sekarang juga aku tak bisa paham. Namun di mataku, kuning-jingga-merah terlihat sama saja.

Aku tak pernah tau semua analogi warna yang kau ceritakan. Meski aku mendengar atau membaca, aku tak bisa merasakan hal yang sama. Jadi saat itu aku ceritakan.

“Aku adalah penderita buta warna total.”

Kau menatapku. Diam. Aku mencoba tersenyum dan melanjutkan.

“Maaf kalau selama ini aku hanya tersenyum atau tertawa. Semua warna yang kau tunjukkan, sebenarnya terlihat sama saja di mataku. Berubah menjadi hitam putih dan keabu-abuan.”

Kau mendekat padaku, lantas menyandar di pundakku sembari berucap maaf. Kau bilang, maaf karena selama ini sering menunjukkan berbagai hal dengan warna. Lalu kau mulai mengucapkan kata-kata itu satu persatu.

“Itu, tumbler warna hijau.” Lalu kau mengambil tumbler merah. Aku kira kau sengaja, karena kau hanya tertawa.

“Bagus baju biru atau yang oranye?” Kau bilang oranye, tapi mengambil baju biru.

Seharusnya, dari lama aku tau. Maaf. Aku menjadikanmu seperti orang usil yang sangat menyebalkan. Namun ternyata akulah orang jahatnya.

Aku mendengar suaramu mulai bergetar. Kau masih menyandar di pundak kananku. Kami duduk di pembatas tepi pantai berbatu, menyaksikan riak ombak dengan senja greyscale yang tampak makin gelap.

Sebenarnya, aku agak menyesal mengatakan kebenaran. Membuatmu menjadi sedih. Padahal, tadi kau bercerita dengan begitu bahagia. Seperti aku yang tak bisa melihat warna-warna lainnya, sepertinya aku juga tak bisa melihat keadaan yang tepat untuk bercerita.

Aku menempelkan kepalaku di atas kepalamu yang menyandar di pundakku. Kataku, “bukan kamu orang jahatnya. Justru akulah yang jahat, menyela raut bahagiamu dengan cerita ini. Aku sudah terbiasa dengan pemandangan greyscale. Dunia yang selama ini aku tempati memang tak pernah berwarna. Namun berkat kebiasaanmu yang mengajariku berbagai warna tanpa sadar, membuatku mulai bisa membedakan kadar cahaya dari setiap warna. Dan membuatku sadar, bahwa apa yang kulihat hanyalah sekadar warna yang ada di sekitar dan hanya bisa aku saksikan.”

Aku mulai bingung merangkai kata. Namun inilah kalimat terakhirku untukmu.

“Kehadiranmu di duniaku, dengan segala tingkah, pemikiran, dan cerita yang kau bawa memberikan warna di hidupku; kaulah satu-satunya warna yang aku tau.”


Salam hangat,

Yayan Dwi Krisdiantoro