Berteduh

Februari 28, 2024
air hujan

Ia berlari kecil ke bawah pohon, mengangkat bahu dan mendekap tas erat. Satu tangannya menengadah, menjulur pada tetesan air hujan yang kian lebat. Basah.

Telah ia pastikan tangannya basah oleh hujan. Kembali mendekap tas dan mengusap-usap lengan. Pikirannya kini melayang atau mungkin tenggelam, bersama mendung yang semakin gelap meski belum malam. Andai saja tadi pulang tepat waktu, pasti takkan terjebak hujan begini.

Hanya berdiri menunggu di bawah pohon, rasanya dingin dan sepi. Setengah enam, sepertinya akan terasa lama dan basah. Mungkin lebih baik ia pergi hujan-hujanan. Namun laptopnya akan basah. Dokumen-dokumen kerjaan juga akan basah. Bajunya basah. Sepatu. Kaus kaki. Kalau semuanya basah, mungkin bukan lagi basah namanya. Sudah kuyup. Lantas besok disiram amarah kepala divisi. Tidak, tidak.

Ia menghela napas panjang. Mari tunggu sebentar. Semoga bisa cepat reda.

Pikirannya kembali melayang-layang. Padahal sewaktu kecil, milyaran bulir-bulir air hujan ini membawa milyaran bahagia. Entah sejak bila, telah berubah menjadi milyaran umpatan begitu saja.

Ia menengadahkan tangan lagi, membasahi tangan kanannya. Kali ini lebih lama. Ia mulai meyakinkan diri untuk berlari. Mungkin tidak akan basah jika ia dekap tas erat-erat.

Tidak. Beresiko!

Mungkin memang lebih baik berteduh saja. Menunggu hujan reda. Kadang solusinya sangat mudah, tapi karena terburu-buru, tidak bisa mencapai solusi meski mudah.

Barangkali karena menunggu membutuhkan kesabaran. Kesabaran bergantung pada perasaan. Dan perasaan tak selalu bisa dikendalikan. Hal-hal terkait kendali juga sangat relatif nilainya. Nilai-nilai yang juga tak begitu jelas satuannya. Satuan yang tidak selalu bisa memberikan penjelasan meski objeknya sama. Entahlah.

Ia memastikan tangannya basah sekali lagi.

Setengah jam telah berlalu begitu saja saat ia sedang memikirkan banyak hal sambil menunggu. Kini perasaannya mulai mendesak. Pikirannya masih membendung, mengingatkan resiko yang mungkin terjadi.

Sebentar. Pikirannya mulai menyangkal bendungannya sendiri. Kini sepatunya sudah basah. Bajunya lembab. Rambutnya terasa berat. Dan tangan. Tangannya telah basah dan keriput. Yang benar saja! Sejak kapan? Bukankah sedari tadi ia berteduh?

Sejak kapan tempat berteduh membasahinya perlahan? Membuatnya kuyup dengan memberi harapan hujan akan mereda. Menjaga bajunya tetap kering. Menjamin sepatunya tetap kering. Kaos kakinya. Rambutnya. Tasnya. Tangannya.

Mungkinkah ia salah memilih tempat berteduh? Tapi bukankah pohon yang ia pilih benar-benar pohon rimbun yang kokoh?

Sementara mulutnya mengumpat, kakinya telah berlari menembus hujan lebat. Melupakan isi kepala dan perasaannya. Atau bayang-bayang seperti apa nantinya. Hanya terus berlari. Membiarkan air hujan pada setiap langkahnya menciprat.

Begitulah … ia memilih berteduh, meski hanya sejenak lalu mengumpat.


Semarang, 28 Februari 2024

Yayan Deka