Apa Cita-Cita Orang Gila? 

April 02, 2023
boneka kayu

“Kita bahkan tidak pernah mengerti apa yang orang gila pikirkan. Bukankah orang genius dan gila itu beda tipis?”

Sebelum menanyakan siapa yang bertanya kepada orang gila yang mana tentang cita-citanya, bus telah menggerung terbatuk-batuk, meninggalkan asap hitam pekat yang mencakar tenggorokan. Aku menghela napas tersengal sembari mensyukuri keadaan yang membuatku hampir mati jantungan karena bangun jam tujuh dan terlambat di hari pertama.

Aku bukan anak sekolahan. Ini soal pekerjaan, hidup dan matiku di dalam masyarakat. Kau tahu sendiri, sekarang ini mencari pekerjaan bukan perkara gampang. Orang rela membuang uang untuk mendapat pekerjaan, menyusuri jalan tikus yang sempit dan gelap menakutkan — pun bau — dan menjadi pembohong yang mengaku sebagai orang mulia dan genius meski hanya bermodal lutut dan gertakan, dan menjadi pecundang di balik bayang orang bersinar, dan seterusnya dan lainnya.

Bus yang aku naiki bukan bus dingin dengan CFC. Hanya sebuah bus yang merangkak kesusahan dengan mesin kelewat berpengalaman dengan peumpang kebingungan mencari pegangan. Penumpang itu tidak lain adalah aku dan banyak bocah sekolahan yang juga kesiangan, atau barangkali karena memang bus yang lewat hanya dua dalam satu setengah jam — tidak bisa ditawar, malah bisa lebih dari itu.

Berkat desak-desakan di dalam bus itu, sekelebat ingatan melingkupiku. Saat itu aku duduk bersebelahan dengan seorang perempuan di sebuah bus yang sama sesaknya. Kami memerhatikan anak-anak sekolahan, tersenyum dan tanpa sadar bahasan kita sampai pada satu kata berjuta rasa: hasrat.

“Anak-anak itu, bukankah senang rasanya melihat mereka bersemangat untuk sekolah?” Katanya dengan senyuman berlesung pipi.

Aku balas tersenyum, “Tentu. Dulu kita begitu juga, kan?”

“Benar. Mungkin zamannya sudah beda, tapi sampai sekarangpun tetap sama. Kita perlu rasa itu,” ia menahan kalimatnya sembari menatap mataku.

Aku kembali tersenyum dan dalam waktu yang hampir bersamaan, kami mengucap “hasrat,” lalu tertawa.

“Padahal hasrat konotasinya negatif,” lanjutnya.

“Tapi kamu setuju juga, kan?”

Ia mengangguk.

“Tapi kita juga tahu, bahwa dari sekian banyak mereka, paling hanya ada satu dua saja yang benar-benar berhasrat.”

“Kita pernah membahas ini, memang begitulah. Aku termasuk yang takkan punya hasrat dengan hal demikian,” aku menuding anak-anak sekolahan yang bersusah payah berdesak-desakan di dalam bus.

Sesaat kemudian kami beralih menatap kaca jendela bus. Angin berhembus melalui jendela yang terbuka, menggeraikan rambutnya. Di luar, pohonan seolah berjalan lebih cepat ke belakang sementara bus kami diam di tempat.

“Aku penasaran,” ia kembali menatapku, “kamu masih punya cita-cita yang sama seperti dulu?”

Aku menatapnya cukup lama tanpa memberi jawaban apapun. Ia nampak menunggu dan akhirnya aku tersenyum, “bukankah itu cita-cita konyol?”

Ia nampak puas mendengar jawabanku lalu kembali menatap ke luar, menembus jendela kaca bus.

“Memangnya apa yang salah dengan cita-citamu? Siapapun berhak bercita-cita menjadi apapun. Tidak ada satupun cita-cita yang konyol. Sebenarnya aku berharap kamu masih memiliki hasrat akan cita-citamu.”

Aku diam.

Lanjutnya, “cita-citaku sudah hilang.”

Tatapannya begitu jauh. Aku seketika teringat kecelakaan yang pernah menimpanya. Itu adalah kejadian yang tragis.

“Kesempatan tidak datang dua kali. Selagi kamu punya semua yang bisa kamu usahakan, meski sulit, cobalah terus memegangnya dengan keyakinan.”

Aku mendengarkan. Ikut menatap ke luar jendela. Ada banyak hal yang memang aku sesali, tapi itu sudah lama. Hatiku mulai hidup datar tanpa ambisi.

“Hei,” ia nampak girang, setengah terkejut, “lihat orang gila itu.”

Ia menunjuk seorang gila yang menari-nari ditertawakan sekumpulan orang. Sebenarnya aku dan dia ikut tertawa juga waktu itu. Namun berhenti saat ia mulai melontarkan pertanyaan itu, “apakah orang gila juga punya cita-cita?”

Aku terdiam, hendak tersenyum tapi enggan. Rasa yang aneh.

“Kita bahkan tidak pernah mengerti apa yang orang gila pikirkan. Bukankah orang genius dan gila itu beda tipis?”

Ia mengernyit padaku. Aku beranikan tersenyum lalu mengangguk.

“Barangkali orang yang kita anggap gila telah menemukan inti akan kebahagiaan atau sesuatu yang lain. Mereka tidak peduli ditertawakan atau mungkin memang itu tujuan mereka. Menambah tawa orang-orang spaneng dalam pekerjaan yang bahkan sampai lupa menyapa tetangga atau mengurus anak, barangkali?”

Ia kembali mengernyit dengan senyuman kemudian. Aku ikut tersenyum. Kadang sulit untuk menerima jalan pikirannya.

“Menurutmu, apa orang gila punya cita-cita?”

Aku sedikit tersentak. Ia benar-benar menanyakan hal itu padaku?

Dengan sedikit terbata, aku menjawabnya, “mung-kin.”

“Itu maksudku.”

“Apa?” Tanyaku malah jadi bingung.

“Apa yang kamu pikirkan, yang kamu inginkan, yang kamu cita-citakan, tidak ada satu orangpun yang akan tahu. Seperti kamu yang tidak tahu apakah orang gila punya cita-cita. Itu adalah rasa yang kuat di dalam hatimu. Hasrat itu. Maka tidak perlu merasa konyol atau apapun itu tentang cita-citamu. Kita hanya perlu mewujudkannya, bukan berekspektasi atau mengakumulasi cacian orang. Namun tugas kita adalah menjadikan cita-cita itu bukan sekadar harapan, tapi kenyataan yang akan terjadi.”

Ia tersenyum. Aku diam, tidak mampu membalas senyumnya.

Sementara aku semakin larut dalam kenangan silam, setetes air menggelayut di mataku.

Waktu itu, setelah kalimat itu, ada seorang perempuan yang menepuk pundakku, bertanya, “bolehkah aku duduk di sampingmu?”

Aku menggeleng, “ini tempat dudukku.”

“Tapi kosong.”

“Yang tidak terlihat bukan berarti tidak ada, kan?” Ucapku sembari mengernyit. Perempuan itu diam, tidak lagi menjawab.

Aku tersenyum menatap tempat duduknya, di sampingku. Ia tersenyum, membisik pelan, “Kejarlah cita-citamu, gantikan aku yang taklagi mampu mencapainya.”

Aku tersenyum dengan mata berkaca. Sulit sekali rasanya menerima hal itu: bahwa kecelakaan waktu itu, yang menimpanya, telah membawanya pergi untuk selama-lamanya.

Aku mengusap mata tanpa sadar. Bus berhenti dan tubuhku terdorong-dorong saat anak-anak sekolahan berebut keluar dari bus. Pemandangan di luar menampakkan sebuah Sekolah Menengah Pertama dua tingkat dengan pintu gerbang tertutup.

“Benarkah mereka punya hasrat itu?”

Barangkali aku harus menjadi orang gila agar bisa tahu hal itu. Bukankah orang gila hanya beda tipis dengan orang genius? Ngomong-ngomong, kenapa semua orang di bus menatapku? Aku hanya tersenyum dan sesekali tertawa, salahkah?


Terimakasih untukmu yang telah berkenan membaca.

Salam hangat,

Yayan Dwi Krisdiantoro
#ydkrisdiantoro