Ada Badai di Kepala

Juni 02, 2023
badai di laut

Aku mendengar angin riuh, menggeram bersama debu-debu yang beterbangan, tak kuat menahan amarahnya. Ombak yang biasanya tenang, kini menggulung-gulung. Tidak sampai menimbulkan tsunami, tapi petani ikan tak berani pergi hari ini. Cuaca sedang tidak bersahabat, gawat kalau memaksa pergi, bisa tidak selamat.

Ada apa gerangan dengan cuaca hari ini? Kalau angin seribut ini, bisa-bisa muncul puting beliung atau tornado besar. Kedua tanganku gemetar membayangkan bencana apa yang akan datang.

Entah kenapa, awan juga mendukung-dukung saja. Mereka mengumpulkan awan-awan hitam yang berat, comulunimbus yang butir-butirannya sudah nampak membombardir permukaan. Matahari jauh, tak sampai sinarnya, sudah tertelan awan hitam.

Para petani di tepi pantai mulai gemetar ketakutan. Ada rasa was-was. Meski masih siang, rasanya sudah begitu gelap. Tak terlihat satu orangpun di luar rumah. Semua bersembunyi, menyalakan lampu yang kini kadang berkedip-kedip. Kemudian, tak berselang lama, semua lampu mati.

Ada yang memeluk erat buah hatinya sambil menenangkan. Ada yang mencoba menyalakan lilin atau lampu teplok. Ada yang pasrah saja, sambil melihat cuaca di balik jendela kaca. Ada yang sedang membangunkan anggota keluarganya, bisa-bisanya tidur dalam cuaca yang sangat berbahaya.

Terbayang langit merah tembaga kemarin sore. Rasanya begitu sentimental. Betapa indahnya. Betapa hangatnya. Nyiur melambai di tepi pantai, angin tak ribut seperti sekarang. Betapa menyenangkan untuk dipandang. Belum lagi dengan bunyi riak air pantai, ditemani nyanyian burung liar, adalah obat untuk siapa saja yang bisa melihatnya.

Padahal hanya selang satu hari. Bagaimana bisa cuaca berubah segitu cepatnya?

Sepertinya aku ingat, kemarin malam ada berita dari BMKG. Katanya, dimulai hari ini, cuaca di sini akan berubah buruk. Tidak ada kepastian kapan bisa kembali normal. Paling normal adalah mendung-mendung biasa dengan gerimis sesekali. Selain itu, mungkin bisa terjadi badai besar. Kemungkinan tidak akan muncul lagi matahari dalam waktu lama.

Awalnya aku tidak percaya, tapi setelah melihatnya sendiri, kini aku mengutuki diri karena tidak bersiap dengan keadaan. Setelah memburuk begini, akan sulit mencari pekerjaan. Bagaimana caranya menjemur ikan kalau tidak ada panas? Bagaimana cara mencari ikan kalau perahu saja bisa koyak oleh ombak yang begitu ganas?

Bagaimana cara meredakan ribut di kepalanya? Apakah kondisi hati juga tak kalah buncahnya?

Benar. Kata penduduk hati, di sana turun salju. Hal yang tidak mungkin turun di wilayah khatulistiwa. Aku tak bisa lagi berpikir jernih. Aku memeluk keluargaku erat. Mereka menangis, aku menahan tangisku agar mereka punya sosok sandaran. Agar mereka juga berusaha kuat meski sebenarnya, aku hanya berpura-pura kuat. Tidak masalah. Meski mungkin, mereka juga tau kalau aku hanya berpura-pura kuat. Ah, bangsat!

Tidakkah ia sadar? Kalaupun isi kepalanya ingin meledak dan hatinya buncah tak karuan, ia masih punya banyak hal untuk dipertahankan. Matahari boleh pergi, tapi kehidupan kami tak boleh berhenti! Mati! Itu namanya ia membunuh kami!

Tidak, tidak. Mungkin sejak ia menciptakan mataharinya sendiri, kami memang tak lagi dianggap.

Benar. Sedari awal, mungkin keindahan yang berlebihan memang adalah pertanda. Pertanda kehancuran yang tak ada batas waktunya.

Memangnya kami tidak bisa berharap? Meski harapan yang patah benar-benar membuat kalap, tapi bukankah harapan juga membuat hidup lebih mendebarkan? Aku tau, yang sekarang memang hanya harapan patah. Dan aku tak menyangkal bahwa aku kalap. Ah, sial.

Aku tak bisa lagi beralasan.

Setidaknya, dengarlah doaku.

“Wahai pemilik hati yang buncah dan pikiran yang keruh, dunia yang kau ciptakan tak akan runtuh. Mungkin kali ini butiran-butiran air menguap terlalu banyak, soalnya matahari terlalu cerah belakangan, karenanya awan gelap jadi berkumpul begitu banyak. Mungkin pelosok wilayah hati menjadi area dingin yang tak mau lagi kau singgahi. Namun, cahayamu tak hanya satu. Masa yang kau lewatkan lebih lama dengan banyak sumber cahaya daripada matahai terakhir kali. Kau bisa menggantinya lagi. Atau setidaknya ingatlah kami. Ingatlah cahaya yang pernah kau tambahkan di kepala dan hatimu ini. Ada banyak hal. Di sini ada keluargaku. Ada teman, sahabat, dan pedagang telur gulung. Atau cilok dan cimol, makanan yang sering kau rindukan. Ada juga pemandangan langit merah tembaga dengan desir angin dan riak ombak yang menenangkan. Ada … benar-benar ada banyak hal. Jangan membuatku menangis dan menderita lebih lama. Aku tak bisa berpura-pura kuat di depan keluargaku, bagaimana dengan istri dan anakku? Bagaimana dengan orang tuaku? Mereka akan mengkhawatirkanku. Ah, sial … bangunlah bangsat!”


Salam hangat,

Yayan Dwi Krisdiantoro

Semarang, 2 Juni 2023.