Minggu Pagi

Mei 05, 2024
air di atas daun

Pagi ini lebih gelap, lebih dingin, dan lebih mengembun dari biasanya. Terasa sekali dingin angin fajar mengelus pipi yang basah. Pipi yang dibiarkan semalaman tenggelam di balik bantal. Respon atas hati yang tertusuk duri-duri ilalang, yang menghampar luas tanpa satupun bunga yang mekar. Indah hanya untuk dipandang, tapi menyakitkan dilintasi dengan kulit telanjang.

Sepasang kaki manusia melangkah perlahan setelah tangannya menutup pagar. Matanya terkesiap melihat beberapa pemandangan asing yang nampak baru. Mungkin dekorasi untuk sebuah pernikahan. Atau acara sunatan. Atau barangkali hendak pergi haji, bersyukur dan berdoa untuk kelancaran. Siapa tau? Akal hanya menerka, kaki kembali melangkah perlahan.

Kedua tangan membenarkan ransel yang lengannya terlalu panjang. Meraba saku celana, saku kemeja, lantas kaki berlari dengan hidung yang terasa dingin.

Suara rel gerbang terdengar lagi. Bisa bisanya kunci dibiarkan menggantung di pintu. Usia saja masih muda, tapi sudah pelupa. Bibirnya mulai berucap apa saja. Tapi tangannya yang diminta cepat untuk bekerja. Setelah gerbang kembali tertutup, kedua kaki kembali berlari.

Kali ini kelenjar-kelenjar keringat dipompa, membuat bulu kuduk agak berdiri karena dingin jadi mencucuk lembab di kulit. Sedang sibuk berlari, tiba-tiba hidung menyadari sesuatu, menyalahkan kaki yang tak punya mata. Sementara mata masih berjarak dua meter saja karena embun yang pekat.

Berhenti. Ia berdiri menekuk kaki kiri, mencerap telapak kaki kiri. Sol sepatunya tampak mengerikan. Karena tiba-tiba lenguhan dan umpatan segera terdengar bersamaan dengan hentakan kaki, menggesek-gesek ke jalan, ke bebatuan, lalu bergerak ke rumput-tumputan.

Tai kucing sialan!

Bagaimanapun, isi kepala mulai mendesak untuk beranjak. Kaki yang belum puas membersihkan diri, berlari sambil menghentak-hentak, dan bruk! Ia tersungkur oleh sebongkah batu kecil berlumut.

Siku kanan mencium aspal duluan, menggores kulit, lalu darah segar memberi warna. Meringis sakit sekalipun, ia segera kembali beranjak. Kakinya kembali berlari. Mata tidak sempat mengeluarkan cairannya, karena waktu yang mengikat pergelangan tangan kiri menunjukkan 5 menit lagi.

Ia hanya membatin, “untung sudah pakai deodoran.”


Teruntuk mereka yang harus bekerja di hari minggunya, *** saja. Kadang semesta lebih mendukung untuk bermalas-malasan.

*** isi sendiri

Semarang, 5 Mei 2024 (Minggu Pagi)

Salam,

Yayan Deka