Entahlah, kadang aku memang suka begini.
Tiba-tiba saja, aku ingin mendengarkan petuah. Barangkali tips-tips para sepuh di bidangnya bisa memberikanku penguatan untuk memperbaiki. Jadi, aku mencari beberapa hal dan … benar, aku menemukan hal baru lagi.
Kalau sedang marah, ya, jangan menulis. Nanti jadi cengeng!
Apapun. Kalau memang sedang terbawa perasaan, sebaiknya diberikan jarak dulu. Dalam menulis, katanya, ada yang namanya jarak estetika. Sebuah jarak yang dibuat dengan sengaja untuk melihat sesuatu sebagai objek. Yang dilakukan untuk tidak melibatkan diri pada perasaan atau keadaan saat itu.
Jika menonton film dan tenggelam dengan alurnya, maka akan jadi cengeng. Karena diri sendiri tak bisa melihat film sebagai objek lain dan tenggelam dalam konflik saat itu.
Ternyata, menyadari tempat kita berdiri sangat penting. Bahkan dalam menulis.
Sastra itu bukan isinya, tapi cara penyampaiannya.
Cara yang dilakukan setiap seniman, meskipun objeknya sama. Kalaupun semua orang membicarakan soal cinta, cara yang berbedalah yang membuat sastra terus berkembang.
Isi? Jangan mengada. Memang isi cinta apa? Semua tulisan berujung pada pembahasan yang itu itu saja. Tapi dengan cara penyampaian yang berbeda, hal itu terasa menyenangkan, menyedihkan, atau memuakkan dengan alami.
Sastra itu hasil curian.
Semua yang dibaca, dilihat, didengar, kau boleh menuliskannya kembali. Mencampurkan berbagai hal. Ambillah dari sana atau sini. Sastra itu kan curian.
Dengan caramu sendiri, bahkan terjemahan bisa menjadi lebih bagus dari karya aslinya.
Aku terus tersenyum, ternyata konsep sesepuh di bidangnya memang membuat bibirku terus senyum. Hal sederhana yang aku nikmati tanpa mundur tiga langkah ke belakang. Aku ingin tenggelam dan menikmati hal yang sama.
Biar aku mencuri dan menjiplak. Lagipula, kalimat terakhirnya, “menjiplak diri sendiri itu haram.”
**Aku mencuri dari bapak Alm. Sapardi Djoko Damono.
Semarang, 24 Mei 2024
Yayan Deka