Tidak Rela

Maret 03, 2024
pria di laut

Mungkin aku perlu melepaskan beberapa jati diri, membiarkan diri menjadi lebih ‘terima apa adanya’ saja. Menghentikan pemberontakan, baik pikiran maupun perasaan.

Menekannya lebih banyak. Kalau perlu dibumihanguskan saja. Soalnya jadi terasa semakin percuma. Terasa semakin hanya mimpi. Hanya ego. Hanya ambisi. Keinginan. Harapan. Angan. Padahal tak mampu merealisasikan.

Ada saat harapan bisa menjadi semangat. Ada saat mimpi memberikan arah berjalan. Ambisi mengisi kemauan. Angan menjadi tujuan. Atau ego yang membuatku terasa ada dan tetap berlari meski kehujanan, tersesat, dan ketinggalan.

Namun memang ternyata sangat melelahkan. Lelahnya mungkin bukan karena berat. Bukan karena sulit. Sendirian. Atau sepi. Atau gelap dan dingin.

Justru karena keadaan. Ah rasanya menyebalkan selalu menyalahkan keadaan, karena ketidakmampuan sendiri jugalah pada akhirnya jadi penyebab utama.

Keadaan yang berkali kali melayangkan kalimat tanya. Yang berkali-kali memperingatkan waktu. Berkali-kali membangunkanku, meski aku tak pernah tidur. Hanya karena tidak ada di dunia yang sama, bukan berarti aku menikmati mimpi dalam tidurku. Aku tidak sedang bermimpi. Atau tertidur.

Bagaimana bisa aku bermimpi sementara aku di kenyataan? Meski nampak tidak nyata di matamu. Di mata kalian. Di mata mereka. Di mata selain aku. Yang membuatku ragu, mungkin mataku sendirilah yang terlalu egois dan tak mau tau mata-mata lainnya.

Mungkin aku hanya tak rela. Sungguh. Memangnya ada orang yang bisa merelakan ini, ini, ini, dan ini. Itu, itu, itu, dan itu juga. Lalu ini dan itu. Memangnya ad — tunggu, aku rasa, inilah mataku.

Aku tak melibatkan banyak mata. Mataku hanya dua. Dua bola mata yang memandang ke depan. Yang memandang jalan setapak yang kulalui. Yang menyaksikan peristiwa-peristiwa dalam garis waktu selama hidupku. Yang dengan kata lain, tidak memandang dari mata lainnya. Hanya ini: mataku. Milikku. Hak sekaligus tanggung jawabku.

Justru keadaan yang suka memaksa. Mengapa aku perlu merelakan apa yang aku sukai? Hanya karena keadaan meminta, menjadi umum, menjadi lumrah dan seadanya saja, mengapa aku harus begitu?

Bukan berarti aku ingin menjadi spesial sendiri. Matamu enak sekali, memandang dunia dengan hitam dan putih saja. Tidak putih ya pasti hitam. Tidak hitam ya tidak perlu ditanya apakah putih.

Mungkin sedari awal inilah masalahnya. Aku hidup dengan cara yang berbeda. Aku menikmati cara hidup dengan norma lainnya. Aku terlalu banyak memberontak, memaksa hitam bercampur putih. Memaksa warna melebihi kapasitasnya. Lelahku — sebentar, aku tidak lelah dengan cara itu.

Justru keadaan memintaku tidak begitu. Menganggapku lelah kalau begitu. Mengatakan yang umum lebih baik untukku. Mengapa aku harus begitu? Itulah yang justru membebaniku.

Aku tetap tak rela. Mengapa aku harus begitu?

Masalahnya, meski tak rela, aku tetap mengikuti maumu. Ah, benar benar menyebalkan dan melelahkan.


Semarang, 3 Maret 2024

Yayan Deka