Muak

Februari 16, 2024
pria di tebing

Rasanya begitu malas, terjebak berkali-kali di perasaan yang sama: muak. Katanya, cobalah untuk menikmati segala prosesnya. Tapi apakah proses yang tidak menyenangkan ini harus dipaksakan untuk menjadi nikmat?

Aku bisa menelan makanan yang tidak enak, atau paitnya obat, tapi jika tiap saat harus kutelan, perutku yang akan memuntahkannya. Karena ada batas untuk rasa mualku bisa ditahan.

Kau boleh mengatakan aku tidak bersabar atau tidak bersyukur, tapi itu hanya cibiranmu. Tidak menyelesaikan masalah muakku.

Aku lebih sering untuk tidak memedulikan banyak hal. Melupakan sejenak, berharap benar-benar bisa dilupakan, ternyata tidak. Tetap saja memuakkan.

Aku tidak bisa selalu tersenyum, terlepas dari sungguhan atau tidaknya, rasanya semakin tidak benar. Aku tidak mau diperbudak perasaan, tapi bukan berarti menjadi tidak berperasaan. Dan kau memandangku dari mana? Akalmu yang sungguh cemerlang atau perasaanmu yang menyilaukan?

Atau aku saja yang kurang berkemampuan?

Semakin aku berpikir, semakin banyak kutukan yang aku lontarkan. Kutukan-kutukan yang terus menggunung di tempatnya. Di sini. Di dalam dada. Yang rasanya menjadi semakin sesak terasa. Ditambah dengan asam lambung yang ikut bergejolak terbawa suasana. Bahkan untuk menghela napas kadang menjadi begitu menyakitkan.

Tidak. Percuma jika kau mengartikannya secara harfiah. Aku tidak perlu GWS-mu, aku tidak perlu kalimat pertanyaanmu yang tidak lebih kurang dengan formalitas senyum di jalanan bertemu orang.

Hal-hal formal selalu saja memuakkan.

Hanya menambah kebencianku yang entah kenapa tidak mencerminkan sifat perkalian. Katanya yang negatif akan menjadi positif saat bertemu dengan negatif. Namun nyatanya, ini justru semakin negatif. Mungkin selama ini aku salah mengartikan. Artinya positif itu ya dalam hal negatif yang semakin bertambah (positif) negatif.

Aku ingin mengumpat lebih banyak, tapi setelah kupikirkan, rasanya umpatan hanya memperburuk keadaan. Mengingat sifat perkalian yang positif negatif.

Semakin aku pertimbangkan, rasanya justru semakin aku kehilangan perasaan. Rasanya sekarang jadi semakin datar. Apakah aku benar-benar membenci? Apakah aku benar-benar terpengaruh dengan semua perasaan ini? Karena rasanya seperti menjadi omong kosong.

Mau dibalut secantik apa, seharum apa, dan semanis apapun, tetap saja tidak ada isinya. Tetap saja tidak ada rasanya. Hanya cangkang yang ketika dipegang, menghilang. Ilusi yang akan lenyap saat kau tersadar. Mimpi yang berada di integral dimensi mimpi. Meski terasa sudah bangun, kau hanya berada di mimpi lainnya.

Tidak ada yang benar-benar terasa nyata.

Dan muakku selalu berakhir dengan hampa.

Entahlah. Untuk apa aku menggebu-gebu menyerukan muak jika berakhir tak terasa apa-apa?

Rasanya benar-benar … muak.

Semarang,

16 Februari 2024

Aku masih punya begitu banyak keinginan meski terasa begitu memuakkan. Keinginannya? Keadaannya? Atau perasaannya? Entahlah. Semuanya terasa menyebalkan untuk dipikirkan. Kau boleh tertawa karena akupun tertawa. Ternyata menyadari betapa menyedihkan diri cukup membahagiakan untuk ditertawakan.