Aku mendengar dari cerita orang-orang dewasa.
Hanya mendengar, tidak paham maksudnya.
Katanya,
“Orang terkuat sekalipun akan kalah.”
“Tidak ada orang yang benar-benar kuat jika
yang dihadapi adalah kesendirian dan
waktu.”
Waktu?
Memangnya waktu …
Bisa mengangkat batu besar?
Bisa membaca buku?
Bisa mencangkul dan mengairi sawah?
Bisa membuat gedung pencakar langit?
Bisa menggunduli hutan?
Bisa menghancurkan ekosistem?
Tidak!
Kenapa waktu menjadi yang terkuat?
Aku bertanya,
“Kenapa waktu menjadi yang terkuat?”
Satu pria tua dengan tubuh super kekar dan besar
tersenyum mengelus kepalaku.
“Karena waktu bisa menghancurkan orang.”
“Bagaimana mungkin?”
“Orang tidak bisa hidup sendirian. Menurutmu kenapa?”
Aku terdiam.
“Sudah jadi insting dan kebutuhan kita.
Makhluk sosial yang tidak mungkin hidup sendirian.
Tadi pagi kamu sarapan apa?”
“Nasi telur dadar.”
“Nasi dimasak dari padi, tumbuhan yang juga makhluk hidup.
Telurnya dari ayam, makhluk hidup lainnya.
Bahkan untuk hidup, kita perlu makhluk hidup lain meski bukan orang.
Dan saat kita menemukan seseorang yang akan menemani kita hidup.
Maka kita akan makin bergantung pada orang lain.
Di sinilah dimulainya kekalahan orang terkuat sekalipun.”
Aku terdiam. Belum paham.
Pria berotot mengusap kumisnya yang rimbun.
“Orang tidak hidup selamanya.
Kira-kira kita akan jadi apa saat orang yang menemani kita hidup,
malah justru meninggalkan kita untuk hidup sendirian?”
Aku menunduk, mengingat kedua orang tuaku yang
tidak aku ingat.
“Sendirian. Mungkin kalau sejak awal sendirian,
tidak akan begitu menyakitkan.
Namun rasa ketergantungan yang sudah mendarah daging.
Kebutuhan akan orang lain, perlahan
membuat kita rapuh.”
“Kenapa waktu menjadi yang terkuat?”
“Tidak ada yang bilang waktu adalah yang terkuat.
Karena waktu hanya membuat orang menumpuk
perasaannya saat menjalani hidup.
Kamu pernah dengar sedikit demi sedikit,
lama-lama menjadi bukit?”
Aku mengangguk.
“Waktu adalah contoh paling nyata untuk peribahasa itu.
Semua yang kita rasakan, pengetahuan, pengalaman
Semua hal yang kita jalani perlahan
Hari demi hari sebagai kebiasaan
Hal baru atau yang diulang-ulang
Semuanya ditumpuk menjadi satu oleh waktu.
Kita sekarang … adalah produk akhirnya.
Kira-kira, jika kebiasaan yang telah berlangsung lama,
lalu dipaksa berhenti karena sudah waktunya,
apakah kamu akan tetap berdiri tegak dan kuat?”
Kalimat pria berotot hanya membuat kepalaku pusing.
Analogi yang membuatku bertanya-tanya
Dan memikirkan yang tidak biasanya
“Tidak berhenti disitu.
Untuk menghadapi hal yang tiba-tiba hilang,
mungkin orang akan perlu waktu.
Namun bisa juga menjadi alasan kehancuran.
Kekalahan dari orang terkuat sekalipun.
Karena waktu akan menumpuk semua hal,
termasuk perasaan sakit dan hancurmu.”
Pria itu memegang tanganku.
“Karena itu, kita memerlukan alasan lain.
Untuk bertahan dan menjalani kehidupan.
Menumpuk perasaan dan menyeimbangkan
rasa sakit yang juga makin dalam.”
Lalu tiba-tiba, ia memelukku erat.
Aku hampir tak bisa bergerak.
Lengannya yang begitu besar melingkar
di tubuhku yang mungil.
Aku meronta … namun …
aku mendengar suara tangisnya.
Aku berhenti memberontak.
Hatiku tiba-tiba tersentuh.
Pikiranku tiba-tiba pasrah.
Dan pelukannya yang terasa erat, kini
terasa begitu hangat.
Mungkin aku yang masih belum paham dengan perasaan.
Air mataku meluncur begitu saja.
Mengiyakan ajakan menangisnya.
Bagaimana mungkin anak 5 tahun sepertiku akan tegar?
Jika orang super kekar dan besar
Dengan otot yang keras
Menangis tersedu seperti anak kecil di depanku yang
lebih kecil.
Aku merasa ingin cepat dewasa, tapi
tidak juga.
Sepertinya menjadi besar tidak menjamin aku akan kuat.
Sepertinya kehidupan memang tidak akan
peduli dengan keinginan,
dengan perasaan,
atau tubuh kekar.
Rasa sakit dan hancur tidak memandang fisik
Tidak memandang kekuatan
Tidak memandang jenis kelamin
Tidak memandang hal lain selain perasaan
Perasaan, hal abstrak yang dimiliki semua orang
Tapi tidak ada yang bisa mengendalikan
Karena hati tidak seperti kepala
Yang berjalan dengan logika
Waktu itu aku memang tidak paham.
Namun belum tentu sekarang jadi paham.
Karena bagaimanapun juga,
waktu juga memaksaku untuk menjadi dewasa.
Meski aku tidak menginginkannya.
Namun sekarang aku jadi tau, waktu
bukanlah yang terkuat.
Orang akan selalu menang melawan waktu.
Namun di akhir, satu kekalahan
akan membuat kita hilang,
tenggelam bersama waktu yang menjadi masa lalu.
Lantas … perlahan dilupakan.
Semarang, 3 Oktober 2023
Salam,
Yayan Deka