Senyumanmu adalah awal mula kehancuranku
Namun dengan polosnya aku mengiyakan keinginanmu
Waktu itu aku seolah buta
Perasaanku meluap dan pikiranku kalap
Kau menarik pedang yang menancap di perutmu
Katamu, “Aku percayakan kebanggaanku padamu.”
Lantas tersenyum pergi untuk selamanya
Meninggalkan sisa-sisa cahaya remang
Dari tubuhmu yang hancur menjadi milyaran bintik-bintik berbinar
Kau meninggal tanpa jasad
Hanya meninggalkan sebatang pedang, yang kau percayakan
Aku masih terduduk menekuk lutut
Meraung sekeras-kerasnya
Mengumpat keadaan dan langit yang beranjak malam
Mengumpat kenyataan bahwa kau meninggalkanku sendirian
Mengutuk musuhmu yang membunuhmu dengan kejam
Meski, ya, dia pun telah mati bersama usainya peperangan
Kau tau …
Rasanya aku menjadi hampa
Tangisku seperti candaan, karena dalam sekejap
Semua ingatanku tentangmu dan semua orang yang meninggal
Menghilang …
Yang tersisa hanya perasaan sakit yang begitu sesak
Aku tak bisa lagi menemukan alasan kesedihan ini
Pikiranku berkabut
Pening saat memikirkan apa yang terjadi
Tidak ada bekas apapun
Mengapa aku di padang luas ini?
Mengapa air mataku keluar?
Mengapa aku sendirian?
Mengapa aku memegang pedang yang tidak biasa aku gunakan?
Sementara pedangku sendiri masih disarungkan
Arghh … kepalaku
Entah sejak kapan, rasanya,
Aku jadi sering merasakan hal yang sama
Ada apa sebenarnya?
Hal penting apa yang telah aku lewatkan?
Bagaimana jika dunia memberimu keistimewaan untuk melupakan ingatan penyebab kesedihan yang kau rasakan? Apakah kau benar-benar akan bahagia?
Salam hangat,
Yayan Deka