Orang yang selalu tersenyum 

Mei 07, 2023
hutan bambu

Namanya Mat karena lahir hari Jumat. Hari yang baik menurut kedua orang tuanya, diambil sebagai nama, sekaligus untuk pengingat hari kelahirannya. Dan seperti harapan kedua orang tuanya, Mat tumbuh menjadi anak baik dan murah senyum. Ia terkenal sebagai orang yang selalu tersenyum.

Mat tidak pernah terlihat murung. Entah jika saat tak terlihat orang lain. Namun ia selalu memasang wajah ceria. Ujung-ujung bibirnya selalu terangkat ke atas, tidak pernah terlihat rata apalagi turun. Aku juga selalu percaya bahwa dia adalah definisi orang bahagia yang sesungguhnya. Hingga saat di mana aku melihatnya menangis di balik pohon rambutan, lalu aku cabut gelarnya sebagai orang bahagia yang sesungguhnya. Ia juga bisa menitikkan air mata!

“Mat?” Ucapku waktu itu. Saat itu ia tak mendengarnya. Ia tenggelam dalam isak tangisnya. Duduk dengan menekuk kedua kaki, memeluk kedua lututnya, menenggelamkan wajahnya dalam-dalam. Namun aku tidak akan salah mengira. Dia memang menangis terisak. Menyandar batang pohon rambutan.

Aku mendekat perlahan, lantas duduk di sampingnya. Tanganku tanpa sadar telah mengelus pundaknya pelan. Ia sempat agak tersentak, tapi pasrah kemudian.

Aku tidak tau waktu itu menghabiskan berapa puluh menit. Namun yang pasti, tidak ada obrolan apapun. Hanya ada kebun singkong sejauh mata memandang. Pohon rambutan ini memang ada di beberapa titik, dekat dengan lereng-lereng terasiring. Kebetulan yang sungguh unik bisa mendapati orang yang selalu tersenyum, menangis terisak sendirian di sini.

“Mat?” Aku menyapa Mat lagi, setelah tangisma mulai reda. Ia mulai mengusap mata dan menegakkan kepala.

“Mat? Kamu sudah makan?” Ucapku sambil memberikan sekepal nasi ketan dengan garam dan parutan kelapa muda. Bekalku yang belum habis setelah membantu orang tua, menggantikan mereka untuk memupuk singkong di ujung sana, karena hari ini hari libur.

Mat diam, menggeleng pelan, lalu aku memaksanya mengambil nasi itu. Ia terima. Perlahan, ia menatap jauh sekali sembari sesekali menyuapi mulutnya dengan nasi itu.

“Mat, kenapa hari ini kau di sini?”

“Aku baru menangis, Sab.”

“Aku tau. Aku menemanimu di sini. Tapi, di sini? Sendirian? Kenapa?”

“Aku hanya menyeimbangkan perasaan, Sab. Kau tau, aku selalu menyuguhkan senyum kepada semua orang. Itu karena aku tidak pandai mengontrol perasaan. Aku mungkin akan meledak jika mengubah perangaiku di depan semua orang.”

“Tapi benar, kau tidak sedang ada masalah? Atau Mak Ju memarahimu? Atau siapa yang sudah mengganggumu? Katakan padaku Mat. Tidak perlu ditutup-tutupi.”

“Tidak.” Mat menatapku. Ia telah memasang kembali wajahnya yang ramah seperti biasanya. Senyumnya terlihat sendu setelah aku melihat tangisnya barusan.

“Atau jangan-jangan kau sedang merindukan orang tuamu?”

Mat terdiam. Ia menunduk. Tetap tersenyum sembari menurunkan tangannya yang memegang nasi ketan kepal.

“M-maaf, Mat. Aku tidak bermaksud menyinggung.”

Aku jadi merasa bersalah. Orang tua Mat sudah tidak ada. Aku tidak tau, apakah benar meninggal, atau pergi meninggalkannya seperti berita yang beredar. Lagipula, orang tua yang meninggalkan anaknya tak beda dengan mati.

Selama ini, kami semua juga merasa bahwa sifat ramah Mat mungkin adalah bentuk pelampiasan atas ketidakstabilan perasaannya. Bukankah orang yang terkenal murah senyum biasanya memiliki masalah yang begitu berat?

Namun sedari kecil, Mat sudah ramah dan berkepribadian demikian. Jadi praduga-praduga demikian telah kami tepis. Mat memang orang bahagia yang sebenarnya. Tapi hari ini, aku telah meragukannya lagi.

“Sab,” ucap Mat malah memulai percakapan lebih dulu. “Kau tidak penasaran denganku atau perasaanku?”

Aku tiba-tiba menjadi kelu. Aku harus menjawab apa? Bagaimana jika jawabanku membuatnya sakit hati lagi?

“Sab,” lanjutnya lagi yang tak bisa mendengar jawaban dariku. “Apakah semua orang sama sepertimu?”

“M-maksudnya?”

“Tidak ada maksud apa-apa. Aku hanya penasaran. Apakah selama ini aku telah salah. ‘Meski kehilangan kedua orang tuanya, Mat selalu ceria dan murah senyum.’ Kata mereka begitu. Entah kenapa, aku jadi merasa senang. Ada orang yang memperhatikan sikapku. Banyak yang senang berbicara, bercanda, dan berteman denganku.”

“Apa selama ini, kau hanya berpura-pura?”

“Aku tidak tau, Sab. Mungkin iya. Mungkin juga tidak. Aku tidak punya orang tua yang bisa menjelaskan perasaan macam apa yang sedang aku rasakan ini. Atau orang tua untuk mengatakan apa tindakanku ini benar atau salah.”

“M-maaf.” Aku kembali menciut. Apakah Mat marah padaku? Aku merasa ia menyindirku.

“Tidak perlu, Sab. Satu-satunya orang bermasalah adalah aku. Aku terpenjara dalam sanjungan kalian, ‘orang yang selalu tersenyum’, benar, kan? Tak masalah jika itu dulu, saat aku masih kecil. Namun aku tetap terjebak di sini seperti kecoa yang tidak bisa bangkit saat jatuh telentang di lantai. Hanya menggeliat sembari menunggu kematian.”

“M-maaf, Mat, aku tidak begitu paham.”

“Memang, Sab, memang.” Mat tersenyum cukup lebar. Sebenarnya aku agak ngeri melihat senyumnya kali ini. Katanya, “Sab, sepertinya, memang tidak ada yang akan memahamiku. Bahkan diriku sendiri. Aku tetap hidup, tapi kalau dipikir-pikir sudah seperti orang mati, kalau saja tidak bernapas, makan, berak, dan berbicara.”

“Nyebut, Mat. Jaga bicaramu. Ini kebun yang jauh dari penduduk. Kesambet bisa gawat.”

“Sab, kamu bawa parang kan? Boleh aku pinjam?”

“Mat!” Aku menelan ludah. Bediri dan menjaga jarak darinya. Ia masih tersenyum. Kali ini ia tersenyum ke arahku. Jujur, aku ketakutan saat ini.

“Santai, Sab. Aku hanya bertanya. Mungkin mengambil kelapa Mak Ju di situ akan segar setelah makan nasi kepal darimu.” Telunjuknya menunjuk pohon kelapa di pojok kanan kebun. Aku melenguh mendengarnya.

“Bisa gila aku. Tolong jangan pakai ekspresi seperti itu. Biar aku yang ambilkan kelapanya. Tunggu di sini.”

“Jangan, Sab. Biar aku saja.” Mat memegang tanganku, tapi tatapannya terasa begitu jauh. Ia seperti orang melamun. Tidak. Aku tidak bisa membiarkannya.

“Biar aku saja, Mat!”

Mat terdiam, ia kembali terduduk.

“Tunggu di sini baik-baik. Jangan ke mana-mana.”

Aku bergegas memanjat pohon kelapa. Karena jarang dinaiki, ada banyak semut dan sulit untuk dipanjat. Aku mencoba membuat jalan dengan parang dan membersihkan dahan-dahan yang sudah kering. Setelah sampai atas, aku mengambil dua buah kelapa muda. Perlahan, aku bawa turun.

Sampai di bawah, aku tidak melihat Mat di tempat sebelumnya. Tidak ada dia di bawah pohon rambutan. Ke mana kiranya?

“Mat! Mat!” Aku mulai memanggilnya berkali-kali. Mencoba untuk berjalan di sekitar. Naik turun terasiring. Namun tidak terlihat sama-sekali batang hidungnya. Ke mana sebenarnya Mat pergi?

Tersisa satu tempat yang masih belum aku datangi di sekitar kebun itu: kebun bambu. Sebenarnya bambu-bambu itu tidak dirawat. Dibiarkan bertunas dan menggerombol besar-besar, tinggi, dan rapat. Mungkin saja Mat tidak bisa menahan panggilan alam?

Aku meninggalkan kedua kelapa muda di bawah pohon rambutan. Bergegas menuju area pohon bambu. Aku berteriak-teriak memanggil Mat lagi. Hingga cukup dekat, aku mendengar balasan darinya.

“Sebentar, Sab. Perutku mules.”

Ah! Benar dugaanku. Memang benar dekat pohon bambu itu juga ada sumur kecil yang tidak pernah kering. Aku cukup lega.

“Baiklah kalau begitu. Aku tunggu di bawah pohon rambutan tadi,” balasku dengan masih berteriak. Kemudian sebentar kemudian Mat membalasnya dengan, “Siap!”

Aku berjalan kembali.

Aku membuka kedua kelapa. Membuat sendok dari kulitnya untuk memakan daging kelapanya. Hingga tepat setelah aku selesai dengan kelapa kedua, Mat datang.

“Wah, mantap ini. Terimakasih, Sab.”

Mat duduk, aku tersenyum. Aku rasa Mat sudah kembali seperti semula. Ia menenggak air kelapa. Menyendok kelapa dengan antusias. Melihatnya, aku tertawa kecil. Siapa sebenarnya Mat yang aku lihat sebelum ini? Senyumnya yang mengerikan itu, sebaiknya aku berpura-pura tidak pernah melihatnya.

Aku mengangkat kelapa milikku, setengah mendongak, menenggak langsung airnya. Memang segar. Aku menutup mata untuk menikmati air kelapa yang terasa manis, segar, dan mengilangkan lelah setelah bekerja ini. Aku menikmatinya perlahan hingga suara keras memekik telingaku.

Brak! Brak! Brak!

Aku tersungkur. Kepalaku terasa begitu pening. Rasanya ada kunang-kunang yang terbang di sekitar pandanganku. Kelapa yang aku pegang telah terlepas, tergeletak di sampingku tersungkur. Dengan pandangan yang terasa gelap berbayang, aku melihat Mat mengangkat kelapa miliknya dengan kedua telapak tangan. Bibirnya terlihat membuka tutup. Namun telingaku mendenging, aku tidak begitu jelas mendengar ucapannya.

Aku hampir tidak sadar, tidak bisa melihat dan mendengar dengan jelas. Mat kemudian membungkuk, mendekatkan wajahnya dan membisikkan sesuatu di telingaku.

“Siapa yang menyuruhmu datang dan menemuiku di sini? Ini semua salahmu sendiri, Sab. Seharusnya kau diam saja, seperti semua orang. Apa-apaan kepedulian palsumu itu. Jijik! Mengingatkanku pada kedua orang tuaku. Namun tenang, Sab, aku akan mengan … kanmu juga … kedua …tuaku di ner... tadinya, aku ingin me … parangmu. Namun tidak … melawan tubuh atlet… saat … bambu … ternyata tid …”

Apa yang Mat katakan? Aku tidak jelas mendengarnya.


Hai, apa kabar?

Entah kenapa, aku menulis cerita semacam ini. Apakah akan sesuai dengan genre yang kau suka? Sampai sekarang, aku tidak tau apakah Sab ***** dan apakah Mat ***** dan bagaimana selanjutnya. Entahlah.

Jangan lupa berikan komentar, baik tentang tulisan maupun penulisnya.

Salam hangat,

Yayan Dwi Krisdiantoro