Siti

April 16, 2023
Wanita duduk di taman saat pagi hari

“Luka di hati memang takkan pernah sembuh. Mungkin orang bisa berpura-pura tidak terluka, tapi lukanya tidak pernah hilang, hanya ditutup kepura-puraan. Suatu saat lelah berpura-pura, lukanya akan kembali terbuka. Tentu masih sakit terasa.”

Siti berdiri menyandar dinding anyaman bambu di samping rumah, menghadap pagar batang singkong. Tangannya masih menggenggam beberapa tangkai daun singkong yang diambilnya dari pagar. Namun matanya menatap jauh, seolah mengharapkan sesuatu yang lain, selain hamparan kebun singkong. Napasnya sesekali ditarik lebih dalam sampai pundaknya sedikit terangkat.

“Siti!” Ibunya, Suminem, memanggil dari jendela, melongok Siti yang terdiam. Tidak ada sahutan.

“Siti!” Panggil Suminem lagi.

Siti terperangah, “I-iya, ini mau selesai,” melanjutkan memetik daun singkong.

“Bukan itu,” Suminem memaksudkan yang lain, “Pak Jali tadi datang menagih hutang, katanya lagi butuh duit.”

Siti terdiam sebentar, “Semua orang juga butuh duit, Mak,” lalu kembali tangannya cekatan memetik daun singkong lebih cepat.

“Anaknya baru kecelakaan, butuh duit buat berobat. Kakinya patah.”

Siti berbalik badan, menghadap wajah Suminem yang ada di balik jendela, sembari mengernyit, “Si Parmin? Innalillahi…”

“Iya,” Suminem mengiyakan cepat, “ada duit buat bayar utang?”

Siti mendekat ke jendela. Suminem kembali menanyakan, “ada?”

“Sebentar,” Siti lekas menuju belakang rumah, menuju dapur. Ia masukkan daun singkong dalam genggamannya ke ember di samping rak piring. Sebentar saja Suminem sudah berdiri di bingkai pintu dapur.

“Ada?” Suminem kembali bertanya.

Siti mulai ragu, sepertinya memang ada duit untuk membayar hutang, tapi entah cukup atau tidak. Dan ada alasan lain mengapa tidak ia gunakan duit itu untuk membayar hutang. Warung kecil-kecilan di depan rumahnya tidak bisa buka kalau modal itu dipakai.

Siti menatap emaknya cukup lama, lalu beranjak ke kamar tanpa sepatah katapun. Ia buka buntelan kain bekas baju batiknya yang dibuat menyerupai kantong. Tangan kanannya merogoh dan mengambil semua duit yang ada. Sebuah koin lima ratusan jauh ke lantai tanah, menggelinding ke bawah lemari.

“Ada?” Suminem yang mengikuti, berdiri di bingkai pintu kamar Siti dan memperhatikan polah anak keduanya itu.

“Modal warung,” Siti menjawab singkat sambil duduk di bibir ranjang dan menghitung uang yang ia pegang. Sesekali ia seka keringat di dahinya dengan punggung tangan kanan.

“Cukup?” Tanya Suminem setelah Siti selesai menghitung.

“Kurang lima ribu, Mak. Emak ada ndak?”

Suminem mengendurkan benting yang ia kenakan, lalu keluarlah dua lembar duit kertas dua ribuan. Ia ulurkan pada Siti.

“Masih kurang seribu, Mak.”

“Emak ndak ada lagi. Sudahlah, ayo cepat ke rumah pak Jali.”

“Sebentar Mak, tanggung kurang seribu.”

Siti meletakkan duit yang ia genggam di atas ranjang, lalu mulai menjongkok mengintip koin lima ratusan yang tadi menggelinding ke bawah lemari. Tangannya mulai mengais-ngais, sampai akhirnya ia temukan koin itu. Sekarang kurang lima ratus lagi.

Siti berdiri sambil matanya jelalatan melihat sekitar, dari waton ke waton.

“Cari apa?” Suminem bertanya heran melihat anaknya yang seperti kesurupan, jelalatan tidak jelas.

“Duit kerokan.”

“Oh, ada di kamar emak, kemarin emak pake kerokan.”

Siti bergegas ke kamar Suminem. Ia temukan koin lima ratusan berwarna kuning yang berlumur minyak bercampur jahe geprek. Dengan ujung bajunya ia usap koin itu. Genap sudah duit untuk membayar hutang pak Jali. Ia keluar dari kamar Suminem.

“Ayo, Mak, ke rumah pak Jali.”

Suminem tidak ada di rumah, Siti kebingungan mencari dari ruangan ke ruangan, “Mak! Mak!”

“Siti! Ayo cepat berangkat! Nyari apa lagi?” Suminem berteriak sembari melongok dari pintu depan rumah.

Siti berlari kecil ke ruang depan, tertawa dengan kekonyolannya, “emak, emak… kenapa ndak bilang kalau sudah di luar?”

“Ulluh..!” Suminem mencubit lengan Siti sembari tersenyum. Siti balas mencubit perut samping emaknya sambil menutup pintu. Keduanya berjalan beriringan sambil tersenyum menuju rumah pak Jali.

“Mak,” Siti mencoba memulai obrolan sembari terus berjalan.

“Apa?”

“Siti kangen bapak, emak ndak kangen?”

Suminem menggerak-gerakkan bibirnya, tapi tidak ada suara yang keluar.

Hening sebentar. Hanya ada bisik daun rambutan di pinggir jalan karena angin sepoi yang cukup kuat dari arah depan Siti dan Suminem berjalan. Debu tipis sesekali terlihat terbang saat kaki keduanya menginjak tapak jalan yang mereka lalui.

“Mak,” Siti mulai kembali ucapannya. Tangan kirinya yang menggenggam erat duit untuk bayar hutang, ia pukul-pukulkan ringan ke paha.

“Emak merasa kesepian ndak?”

Suminem tetap diam, masih menggerak-gerakkan bibirnya tanpa berkata. Namun matanya mulai berkaca. Rupanya kalimat Siti mulai membuka luka lama yang ada di hati Suminem. Luka di hati memang takkan pernah sembuh. Mungkin orang bisa berpura-pura tidak terluka, tapi lukanya tidak pernah hilang, hanya ditutup kepura-puraan. Suatu saat lelah berpura-pura, lukanya akan kembali terbuka. Tentu masih sakit terasa.

“Emak kesepian kalau Siti pergi?”

Tiba-tiba Suminem diam, menghentikan langkah kakinya. Sontak membuat Siti ikut berhenti dan menengok wajah Suminem.

“Maaf, Mak. Siti ndak bermaksud-”

“Ndak papa, Siti. Emak paham,” Suminem mulai berjalan lagi. Siti mengiringi di sampingnya.

Kali ini, hening berlangsung cukup lama. Suara sandal jepit Siti dan Suminem terdengar lebih keras rasanya. Tidak ada yang melanjutkan lagi percakapan sampai akhirnya mereka sampai di depan rumah pak Jali. Siti mengetuk dan ibu Jali mempersilahkan masuk.

“Mohon maaf, bu Jal,” Siti memulai dialognya setelah duduk dengan benar di sebuah risban kayu.

“Ndak papa, Siti. Saya juga minta maaf. Kalau Parmin tidak begini, saya pasti tidak akan memberatkanmu.”

Siti tersenyum sengir, sementara Suminem mulai menyeruput teh pahit yang disuguhkan tuan rumah. Emak Siti itu memang tidak berniat berkata apapun karena memang hanya Sitilah tulang punggung keluarga setelah suaminya meninggal. Anak pertamanya menikah dengan seorang petani di desa sebelah, tapi kondisi keluarga mereka juga memprihatinkan. Makanya, hanya Siti, anak keduanya yang masih perawan itu, yang ia punya. Ia pasrahkan hidupnya kepada Siti.

“Ndak begitu. Musibah ndak ada yang tau akan menimpa siapa. Untunglah saya ada simpanan dari hasil warung,” Siti meletakkan uang yang ia genggam ke atas meja, lengkap dengan koin bekas kerokan Suminem di atasnya, “mohon maaf receh, soalnya dari warung.”

“Ndak papa, Siti, terimakasih banyak. Saya sedang sangat butuh soalnya,” Bu Jal mengatupkan bibirnya yang bergetar dengan mata berkaca-kaca, “Parmin patah tulang dan mungkin belum bisa jalan untuk waktu yang lama. Cacat.”

Siti terdiam. Tadinya ia ingin menanyakan kronologis kejadiannya, tapi ia urungkan.

“Parmin,” bu Jal bercerita dengan sendirinya, “hendak pergi ke rumah pacarnya. Ia sudah mantap ingin menikahi pacarnya itu. Minggu depan kami akan pergi untuk melamar. Namun di jalan, ada anak kecil yang menyeberang jalan tiba-tiba. Parmin mencoba menghindar, tapi malah terjungkal-”

Bu Jal berhenti, mengusap air matanya yang mulai mengalir. Siti tertunduk. Di dalam hatinya mulai bergetar-getar perasaan yang aneh. Mempertanyakan, “jadi Parmin akan menikah dengan gadis itu?”

Tanpa dirasa, Siti pun mulai ikut menangis bersama bu Jal. Ia berdiri dengan lutut di samping bu Jal duduk, memeluknya. Ia tidak tahu kenapa dirinya menangis. Hanya ada perasaan yang sangat jelas di hatinya: sedih yang teramat sangat. Sementara Suminem meletakkan cangkir teh dan mulai mengenang mendiang suaminya.


Semoga kau menikmati cerita satu ini. Ini sebenarnya adalah bab 1 dari novel dengan judul sama yang masih belum selesai aku tulis. Namun sebelum aku putuskan jadi novel, ini memang tulisan yang aku niatkan jadi cerpen pada awalnya.

Aku mencoba berperan sebagai tokoh perempuan di sini. Aku mencoba menebak-nebak bagaimana perasaan perempuan. Bagaimana ia menyikapi keadaan, dan bagaimana seorang Siti, gadis desa yang putus sekolah menjalani kehidupannya.

Jangan lupa untuk berkomentar apapun, baik tulisan maupun kepada penulisnya.

Salam hangat,

Yayan Dwi Krisdiantoro

#ydkrisdiantoro