Rencana 

April 23, 2023
jendela rumah yang terbuka

“… terlintas film hitam putih tentang idenya semalam …. Apakah ini yang disebut karma? … tanpa sadar, sebutir air menggelayut di ujung mata Gun.”

Berbahagia tentu menjadi dambaan semua orang, apalagi kalau bahagia bersama pasangan yang diharapkan. Namun tidak dengan Gun. Ia orang yang selalu penasaran pada suatu hal. Tepat saat ia membaca kalimat penulis pemula yang kurang lebih seperti ini, “Bercinta memang mendebarkan, tapi perpisahan dengan yang dicinta benar-benar menguras perasaan,” Gun berubah seketika menjadi manusia bertanduk iblis. Ia ingin berpisah dengan kekasihnya, yang baru pertama kali ia nikmati rasanya berkasih selama dua puluh tahun hidupnya melajang.

“Tapi, bagaimana caranya?”

Semalam suntuk Gun habiskan waktu memikirkan perpisahan paling menarik dengan kekasihnya. Tentu ia tidak bisa berpisah begitu saja, bukan? Mana bisa ia rasakan bahwa cinta menguras perasaan kalau berpisah begitu saja tanpa ada apa-apa. Hingga tepat pukul 03.45 dini hari saat cicak mendecak di dinding kamarnya yang gelap dengan samar-samar lampu tidur, ia temukan ide paling brilian dari otaknya yang mengandung skor 123 skala IST pada sertifikat yang kadaluarsa tiga tahun lalu.

“Tapi, apa aku bisa benar-benar berpisah dengannya nantinya?”

Namun pada detik kelima setelah penemuan ide briliannya itu, ia meragu. Dipandangnya korden yang berkibar karena jendela kamar tidak ia tutup sedari sore. Ia berjalan mendekat jendela, “setidaknya, kucoba dulu,” dan menutup jendela setelah sebelumnya menggigil dingin diterpa angin.

“Mungkin akan lebih menarik lagi kalau aku tak sanggup berpisah dengannya, nantinya,” Mata Gun seketika berbinar. Sembari terus membayangkan pengalaman macam apa yang akan ia rasakan nantinya, ia mulai merebahkan badan, berharap memimpikan idenya berhasil sebelum akhirnya ia melenguh keras. Ayam telah berkokok!

Gun memejam mata kuat-kuat sembari membenamkan kepalanya di bawah bantal. Namun tidak bertahan lama, dering ponselnya berbunyi: alarm pagi. Ia biarkan. Hingga alarm kedua, ketiga, ia tak lagi tahan.

“Akan langsung aku jalankan rencananya,” ia bangun dan bergegas menuju kamar mandi.

Sekejap kemudian, langit di ufuk timur terlihat mengembun dengan bilah-bilah cahaya menerobos acak. Gun telah selesai dengan mandinya, ia tengah menerawang jauh memperhatikan lanskap itu dari balik jendela. Ia membisik pelan, “Entah kenapa aku mulai ragu,” lalu tersenyum, “ini belum kumulai dan aku sudah merasakan perasaan yang tidak karuan seperti ini. Bagaimana jika sampai rencana ini berhasil? Perasaan apa yang akan aku rasakan?”

Dada Gun terasa hampir meledak kegirangan menanggapi perasaan yang baru menghantuinya, tanpa pernah tahu bahwa setelah merasakan kekecewaan, sulit menghilangkannya. Namun entahlah, barangkali ia akan suka?

“Rin, dengarkan aku,” begitulah Gun memulai rencananya. Ia nampak gugup. Biasanya tidak pernah ia basa-basi seperti itu kepada kekasih pertamanya itu.

“Ada apa, Gun? Tumben,” Rin tersenyum sembari menggelar karpet kecil di lereng bukit-bukitan yang biasa dipakai untuk piknik. San, teman SMA Gun, yang merekomendasikannya.

“Aku buat kepok tadi, buat sarapan kita, Gun. Nih,” Rin duduk di karpet dan membuka bekal, menyodorkannya pada Gun.

“Aku baru tahu ada tempat seperti ini, Rin.”

“Kamu baru pertama ke sini, Gun?”

“Iya,” Gun tersenyum lagi sembari menerima sekepal kepok dari Rin. Sekali lagi ia tersenyum, melihat kepok itu. Dulu sekali, kapan kiranya, Gun sudah lupa. Ibunya sering membuatkan Gun kepok. Kepalan nasi ketan putih dengan sedikit garam dan ampas kelapa muda itu hampir saja meneteskan air mata Gun jika tidak buru-buru ia usap.

“Kamu kenapa, Gun? Nggak enak, ya?”

“Enak, Rin, enak. Aku cuma ingat Ibu. Makasih, ya.”

“Gun,” Rin ikut menggigit kepalan kepok bekalnya sembari menerawang hamparan sawah dan langit biru yang menjadi epic view di tempat itu, “aku juga mau ngomong.”

Gun menoleh, “apa itu, Rin?” lalu tersenyum.

“Kamu dulu, Gun.”

“Kamu aja dulu, Rin, aku nggak penting.”

“Gun, kamu aja.”

“Cukup Rin,” Gun tertawa sampai kepok yang ia kunyah hampir keluar, “kamu dulu aja. Aku beneran nggak penting.”

Rin tertawa kecil, lalu berubah serius. Gun menghentikan tawanya.

“Jangan tegang Rin, harusnya aku yang tegang, tapi aku belum terangsang jadi nggak tegang.”

Rin tertawa, mendorong pundak Gun hingga hampir jatuh. Gun ikut tertawa.

“Itu yang aku mau, Rin,” Gun membenarkan duduknya, “jangan tegang-tegang. Jadi… ada apa? Mau ngomong apa?”

“Aku mau kita udahan, Gun.”

“Hah?” Gun belum paham, “Maksudnya, gimana, Rin? Udah? Mau pulang?”

“Bukan, Gun,” Rin tersenyum sengir, “Kita udahan pacaran-pacarannya.”

“Tapi aku belum siap, Rin.”

“Siap apa?”

“Aku belum siap nikah,” Gun meringis.

“Bukan itu, Gun,” Rin tidak mau lagi meladeni candaan Gun yang pura-pura tidak paham, “aku merasa kita udah nggak cocok.”

“Kenapa, Rin?” Gun mengernyit, “aku merasa kita masih sama seperti pertama kali.”

“Itu dia, Gun,” Rin menyetujui, “Karena kita tetap sama. Dan kamu ingat awal mula kita?”

Gun menunduk.

“Gun, dulu-“

“Aku ingat, Rin. Dulu aku terpuruk karena ibuku, satu-satunya keluarga yang aku punya meninggal. Sejak itu kamu selalu dekat denganku, baik sekali, dan seolah kamu menjadi sosok baru ibuku.”

“Dan aku pikir kita pacaran karena kasihan. Aku kasihan pada keadaanmu, kamu kasihan jika harus cuek padaku. Selain itu, Gun,” Rin kembali memandang lanskap sawah di depannya, “cinta pertama memang tidak pernah berhasil. Seperti buku yang aku baca.”

“Kenapa tidak berhasil?” Gun mencerap Rin, “Kamu lebih percaya buku daripada aku?”

“Bukan begitu, Gun,” Rin balik memperhatikan Gun. Kedua mata mereka bersitatap.

“Lalu apa, Rin?”

“Ada orang yang aku suka, Gun. Setiap kali dekat, dadaku seperti mau meledak. Aku pikir itu cinta yang sebenarnya, Gun.”

Gun mendapati mata yang berseri saat Rin mengatakan itu. Seketika, Gun kelu tak mampu bicara apapun. Kemudian terlintas film hitam putih tentang idenya semalam yang ingin berpisah dengan Rin. Apakah ini yang disebut karma? Hingga tanpa sadar, sebutir air menggelayut di ujung mata Gun. Rin yang melihat langsung paham.

“Gun, maaf,” Rin menelan ludah, “sebaiknya aku pergi sekarang. Kamu tak usah mencariku lagi,” lalu berdiri dan beranjak pergi.

Gun masih diam. Perasaannya benar-benar teraduk-aduk. Padahal belum sempat ia mulai rencananya, tapi ia sudah ditinggalkan. Air matanya mengucur, menderas. Banyak kilatan-kilatan ingatan tentang dirinya tertawa, tentang Rin, tentang ibu. Namun semuanya berakhir memudar seperti dinaikkan opacity-nya hingga transparan. Kini dada Gun terasa meluap-luap dipenuhi jutaan rasa yang ricuh.

“Rin, perasaan apa yang telah kamu berikan padaku?” Ucap Gun dengan masih berlinangan air mata dan entah kenapa, ia mulai tertawa, “Aku belum pernah merasakannya, Rin. Ini gila! Luar biasa! Aku tidak tahu karena sebuah perasaan, dadaku bisa sesakit ini. Kenapa bisa aku sesakit ini?”

Gun masih tertawa. Satu yang selanjutnya ia sadari: ia kini benar-benar telah sendiri.


Ini cerpen yang aku niatkan untuk dikirim ke lomba. Namun sepertinya dulu belum sempat aku kirimkan. Atau entahlah aku lupa.

Gun dan Rin adalah karakter dalam novel lain yang juga aku tulis (belum selesai). Mungkin sudah sekitar 20k kata. Aku belum bisa menyelesaikannya. Itu adalah sebuah novel eksperimental yang aku rancang dengan menggabungkan beberapa sudut pandang para tokoh dalam satu kata ganti orang pertama. Kurang lebih beriisikan chapter/bab/bagian yang pendek pendek, yang masing-masingnya memberikan satu perasaan tertentu.

Aku ingin segera menyelesaikannya. Namun ternyata tidak semudah itu. Aku menuliskan masing-masing bab dengan potongan-potongan sekilas cerita. Ada beberapa alur yang akhirnya sulit untuk dipahami. Karena melompati waktu dan mengganti sudut pandang tokoh.

Namun cerita satu ini adalah universe lain yang tidak ada di (calon) novel tersebut. Semoga kau suka.

Salam hangat,

Yayan Dwi Krisdiantoro

#ydkrisdiantoro