Kembali Asing

Maret 19, 2023


hutan
Photo by Marek Piwnicki on Unsplash

“Dari awal, kita memang hanya orang asing. Yang kebetulan terikat dengan perasaan yang sama.”

Mengapa merasa jauh menjadi sebab perpisahan? Kita sudah mengusahakan segala upaya untuk dekat. Namun dengan bekal perasaan katanya, mungkin kedekatan itu bukanlah hal yang tepat. Kemudian kita berpisah, kembali jauh, kembali menjadi orang asing yang tidak pernah menanyakan kabar makan, tidur, atau sedang apa. Katanya, setelah kita dekat, rasanya kita justru semakin jauh. Semakin saling kenal, semakin terasa asing, semakin perasaan menguat untuk kembali menjauh.

Aku sempat bertanya tentang keputusan sepihaknya, tapi kau tau kan, katanya perasaan tidak bisa dipaksakan. Benar, hubungan kita juga dibuat dari ikatan abstrak yang disebut perasaan. Jadi aku tidak bisa banyak alasan. Aku hanya kelu. Mengangguk pelan sambil memaksa bibir tersenyum, menyembunyikan hal abstrak lain yang mungkin nampak di air mukaku.

Aku baik-baik saja. Sungguh. Sejak awal memang aku tidak mengharapkan apa-apa. Kau juga tau, aku pernah cerita kalau dialah yang sejak awal mendatangiku. Mengatakan ini itu. Bertanya ini itu. Aku, seperti orang ramah pada umumnya, menanggapi keramahannya. Hanya seperti itu. Hanya saja, secara perlahaan, saat ia mulai merasa jauh, aku justru semakin merasa dekat. Barangkali karena perubahan perasaanku ini, ia mulai merasa asing dan jauh denganku. Apakah ia akan kembali dekat jika aku tak mencoba dekat? Atau barangkali, saat kita kembali menjadi orang asing, ia justru akan kembali mendekat?

Beberapa saat. Benar hanya beberapa saat, aku tak bisa menjalani kehidupanku seperti biasa. Sapaan yang biasa terdengar, tawa renyah dan senyuman manis yang sering ia suguhkan, membuatku sering terbayang-bayang.

Aku sempat berpikir, mungkin ini hanya permainannya. Bukankah sekarang banyak yang seperti itu? Namun beberapa hari berlalu hingga bertumpuk minggu dan bulan, kita tetap menjadi orang asing. Mungkin saja ia memiliki alasan yang tak bisa disebutkan? Aku sudah mencoba mencari tau apakah ia punya penyakit atau orang lain, ternyata tidak juga.

Aku menyerah. Membiarkan segala sesuatu kembali asing. Dan aku mulai melupakannya.

Saat itu, aku duduk di taman melihat dua bocah bermain di ayunan. Mereka tertawa riang, mengingatkanku pada tawa seseorang. Saat itu juga, ia yang sedang kubayangkan, duduk di sampingku. Menanyakan apa kabar. Aku menatapnya lamat-lamat. Namun jantungku tak berakselerasi sama sekali. Kemudian aku alihkan pandanganku pada dua anak riang di ayunan tadi.

“Katanya sekarang kau keluar dari pekerjaanmu ya?” Ia kembali bertanya. Aku diam saja. Aku belajar untuk tidak memedulikan keramahan orang asing. Takut kalau perasaanku salah paham lagi. Bukankah guru terbaik adalah pengalaman? Hanya orang bodoh yang kelewat bodoh yang akan mengulang kesalahan yang sama.

“Kenapa? Aku kira kau akan bertahan lebih lama. Meski aku sudah menduga, cepat atau lambat kau pasti keluar dari pekerjaan nine to five semacam itu.”

Mendengarnya banyak bicara, aku jadi mengingat kalau ada roti lapis yang tadi aku beli dari mini market. Biasa, untuk sarapan setelah jogging pagi. Aku membuka tas kecil dan memakan roti itu, masih dengan memperhatikan dua anak di ayunan. Sepertinya mereka kakak beradik.

“Aku rasa, kita memang tak pernah bisa menjadi dekat.” Ia berdiri, berjalan pergi ke arah dia datang tadi. Aku tetap diam. Hanya meliriknya sebentar. Kemudian kembali diam.

Kepalaku mulai terasa berat. Seketika, ada begitu banyak pertanyaan yang menjejal mencari penjelasan. Aku melenguh sambil mengusap wajah. Kalau begini, bukankah tebakanku benar? Rasa asing ini. Ketika kita sudah kembali saling asing, ia datang mendekat.

Aku terus mengunyah roti rasa coklat kacang yang baru tergigit sekali. Pelan-pelan, sembari menata kembali pertanyaan-pertanyaan yang tak perlu jawaban di rak-rak ruangan tak terpakai di kepala. Aku menghela napas lagi, kali ini, rasanya aku kembali tenang. Hingga seseorang duduk kembali di sampingku.

“Ternyata enak. Aku jadi lapar melihatmu sarapan roti coklat kacang.” Suaranya terdengar senang. Aku hanya mendengar suara plastik kemasan roti yang ia sobek. Lagipula, aku sibuk memakan roti kacang coklatku.

“Ngomong-ngomong, ternyata kau masih rajin olahraga. Badanmu juga terlihat lebih berisi. Terlihat seperti cogan misterius.”

Aku meliriknya sebentar, ia terlihat memperhatikanku. Benar memang aku lebih rajin olahraga. Mungkin karena saat olahraga, pikiranku jadi lebih rileks. Mungkin ini tips yang kau butuhkan jika kehidupanmu sedang tak baik-baik saja. Jika kau berdiam saja, perasaan dan pikiran akan makin kacau. Pikiran buncah akan mengganggu aktivitas apapun. Menghancurkan kehidupanmu hanya karena hal abstrak yang disebut perasaan sama sekali tidak layak.

“Aku mau minta maaf. Mungkin terdengar tak punya malu. Setelah dua tahun pergi begitu saja, kini kembali dan mengganggu hidupmu yang sudah baik-baik saja.”

Ia menghilangkan nada cerianya. Mengubah suasana pagi dengan bilah-bilah cahaya mentari pagi menjadi terasa kelabu. Aku masih diam. Roti coklat kacang sudah habis. Ia menyodorkan air mineral padaku.

“Aku sungguh-sungguh. Mungkin terdengar seperti omong-kosong, tapi aku juga bingung dengan perasaanku.”

Aku menatapnya sebentar, menerima air mineral darinya, lalu minum pelan-pelan tanpa menyentuhkan bibirku. Tepat setelah itu, suara tangisan terdengar memekik.

“Aku minta maaf.” Katanya lagi.

Aku berdiri, berlari kecil menghampiri perempuan kecil yang menangis karena jatuh dari ayunan. Kakak laki-lakinya berkaca-kaca sambil mencoba memeluk dan menenangkan perempuan kecil itu. Aku membantunya berdiri dan bocah lelaki menggendong adiknya yang menangis kembali ke rumah. Mereka berjalan menyongsong mentari pagi, menyusuri jalan setapak yang rindang dengan pepohonan di kanan dan kiri. Aku menatapnya sambil berjalan kembali ke bangku. Kembali duduk lalu menatapnya yang juga mencerapku. Ia tersenyum.

“Sudah aku maafkan sejak dua tahun lalu.” Ucapku dengan tersenyum kecil. Aku kembali berdiri dan menambahkan, “Dari awal, kita memang hanya orang asing. Yang kebetulan terikat dengan perasaan yang sama. Ketika perasaan kita berbeda, ikatan itu jelas akan hilang. Dan kalau keadaanku membuatmu merasa bersalah, justru aku yang harus minta maaf. Sekarang kita sudah jadi orang asing lagi, tidak perlu mempermasalahkan perasaan lagi. Hubungan dua orang asing tak seharusnya melibatkan perasaan.”

Aku beranjak pergi. Ia terdiam, masih duduk di bangku taman.

Aku berjalan mengekor kakak beradik yang baru saja pergi. Ternyata berjalan ke arah cahaya bisa sangat sulit. Pandangan dan mata perlu menyipit, mengurangi cahaya yang masuk ke retina. Hal-hal berlebihan memang tak pernah membawa kebaikan meski hal baik sekalipun. Karena kehidupan punya takarannya untuk mempertahankan keseimbangan. Bumi berotasi agar setiap permukaannya bisa merasakan hangat cahaya matahari. Air menguap dan bepergian membentuk awan agar tanah tak kekeringan. Sementara interaksi orang asing adalah untuk keramahan dan hidup sosial yang menyenangkan. Bukan untuk melibatkan banyak perasaan. Hal-hal abstrak yang sulit ditakar kadar seimbangannya. Kau tau maksudku kan?


Selamat datang! Semoga cerpen di atas bisa sedikit menghibur ya. Aku akan mencoba konsisten menulis cerpen dan diterbitkan setiap hari minggu pukul 08.00, jadi jangan lupa follow dan ikuti terus cerpen-cerpenku selanjutnya.

Karena menulis untuk healing, aku rasa banyak hal yang masih kurang dalam cerpen-cerpen yang kutulis. Jangan sungkan-sungkan untuk memberikan kritik dan saran membangun agar tulisannya makin baik terus ke depannya ya. Terimakasih sudah membaca tulisan sederhanaku ini.

Salam hangat,

Yayan Dwi Krisdiantoro.