Kelap-Kelip Lampu Jalanan

Maret 19, 2023

lampu di tengah gelap malam
Photo by Jez Timms on Unsplash

Entah kenapa aku selalu merasa ada yang janggal. Kenapa tidak kau bandingkan dirimu dengan lampu saja?

Aku rasa, lampu di pinggir jalan sana sedang tidak baik-baik saja. Mungkin saja, ia tengah berjuang mati-matian untuk tetap menyala. Mungkin saja, ia hanya ingin diperhatikan. Karena selalu saja, setiap malam, ia bersinar sendirian. Hanya ditemani gelap malam dan kadang kedinginan karena lebatnya hujan.

Bagaimanapun juga, normalnya tidak berkedip begitu, kan? Tapi, tau apa aku soal apa yang normal untuk sebuah lampu? Aku manusia, bukan lampu. Aku tidak bersinar di kegelapan. Malah kadang aku yang menjadi bayang-bayang. Menyatu dengan kegelapan. Tenggelam dalam lautan pikiran. Tak tau arah di tengah labirin kehidupan. Bagaimana bisa aku yang begini mendiktekan apa yang lampu inginkan dan rasakan? Sungguh manusia lancang.

Sebagai manusia, aku jadi menyadari betapa tidak berdayanya aku hanya karena membandingkannya dengan lampu. Atau betapa bodohnya aku yang membanding-bandingkan manusia dengan lampu, yang jelas jelas dua hal berbeda. Atau betapa menyebalkannya kenyataan aku menyadari dan memikirkan hal ini begitu saja. Hanya karena melihat lampu jalanan yang berkedip, meminta perhatian. Oke, dan aku mulai sok tau lagi. Bahkan dengan menganggapnya sebagai 'hanya’, seolah itu bukan apa-apa. Mengingatkanku, bahwa aku mungkin terlalu manusia untuk ukuran manusia. Atau aku hanya terlalu menggeneralisasi manusia?

Berhenti di sini.

Tentang lampu, bukankah kita sebagai manusia sudah sangat bergantung padanya? Karena kitalah penciptanya, jadi kadang kita lupa kalau di malam gelap juga ada bintang yang bersinar. Lagipula, bintang terlalu jauh. Terlalu banyak. Terlalu bebas. Dan terlalu sulit untuk dimiliki. Siapa yang akan bernegosiasi harga bintang kepada Tuhan?

Namun keduanya sama saja: menjadi penerang saat gelap. Bukankah meski lebih megah, bintang kalah populer dengan lampu kerlap kerlip yang akan mati saat pemadaman listrik? Manusia juga begitu.

Semakin dipikirkan, semakin banyak kemiripan pada setiap hal. Atau memang pada dasarnya, asal kita memang semua sama? Hanya barangkali takarannya saja yang berbeda.

Mungkin lampu bisa bersinar, tapi tidak akan mampu kalau diminta untuk bernyanyi. Mungkin bintang bersinar, tapi tak bisa apa-apa kalau awan mendung berkumpul bersama. Yang berbeda mungkin hanya manusia. Ada begitu banyak hal yang bisa dilakukan. Namun masih saja membanding-bandingkan dengan kesempurnaan penciptanya saat tidak bisa melakukan suatu keinginan. Kau tau kan kalimatnya, “Aku hanyalah manusia, tempat salah dan tidak tau apa-apa. Kesempurnaan hanya milik-Nya.”

Entah kenapa aku selalu merasa ada yang janggal. Kenapa tidak kau bandingkan dirimu dengan lampu saja?

Memangnya lampu pernah membandingkan kesempurnaan dirinya dengan manusia — sebagai penciptanya? Bahkan lampu tidak pernah memikirkan pembandingan itu. Tapi kenapa, ya, manusia sebagai pencipta lampu, yang jelas punya jauh lebih banyak kemampuan dan ilmu, malah begitu?

Lagi lagi. Aku pun sepertinya manusia sekali. Sebuah senjata pamungkas untuk mengatakan bahwa: akulah manusia.

Sebenarnya, apa itu manusia?

Sepertinya, tidak penting untuk memikirkan menjadi manusia. Cukuplah menjadi kamu apa adanya. Kamu yang begitu, aku yang begini. Tidak perlu juga membandingkan dengan lampu yang benderang di kegelapan.

Untuk ke sekian kalinya, aku akan kembali menanyakan, “Bukankah sebagian besar kehidupan memang dipenuhi dengan ketidakjelasan?”

Menikmatinya adalah hak istimewa bagi makhluk berakal.


Salam hangat,

Yayan Dwi Krisdiantoro