Dosa Kecil yang Menghilang

Maret 26, 2023


lampu
Photo by Raul Petri on Unsplash

“Sepertinya ia berhasil merajut isi kepala dengan baik. Membentuk syal merah yang rapi. Yang menghangatkannya dari dinginnya kehidupan yang telah ia alami.”

Dosa duduk di atas batu besar berlumut di pinggir sungai Rumpun, tempat wisata yang dibuka dua bulan lalu oleh rombongan mahasiswa KKN desa Siturumpun. Ia termenung menghadap langit berwarna tembaga. Di sekitarnya terdengar gemericik air jernih dengan kerikil-kerikil yang nampak kerlap-kerlip terkena biasan cahaya senja. Kalau diperhatikan, nampak gumpalan-gumpalan awan tercermin di permukaan air sungai. Dosa tetap khusyuk, merajut pikiran-pikirannya yang kusut.

“Tidakkah kau penasaran mengapa ia dinamai Dosa?” Dosa mengingat kembali percakapan yang tidak sengaja ia dengar dari sepasang kekasih saat namanya dipanggil oleh penjual sosis bakar di pinggir sungai, Bu Tini. Saat itu Dosa biasa saja, membantu ini itu pekerjaan bu Tini. Sampai akhirnya hari menjelang sore, bu Tini menyuruh Dosa istirahat. Dan di sinilah Dosa sekarang. Termangu menghadap sungai.

Dosa jelas sebuah nama yang sangat buruk setelah kau mengenal konsep baik dan buruk dalam agama. Mungkin nama itu juga alasan kenapa ia tak punya ayah dan ibu. Atau lebih tepatnya, ia ditinggal saat umur 4 tahun. Ibunya tak kuat untuk menjadi ibu tanpa ayah. Mati gantung diri setelah menitipkan Dosa pada neneknya. Sementara neneknya meninggal satu minggu kemudian. Dosa menjadi sebatangkara di umur 4 tahun 2 bulan 2 minggu. Sekarang sudah 4 tahun 3 bulan sejak ia sendirian dan tinggal bersama bu Tini. Karena bu Tini terlalu sibuk di warung, ia jadi ikut bantu-bantu. Tidak bersekolah. Ia hanya pria kecil miskin yang menumpang di rumah orang asing. Banting tulang untuk hidupnya sendiri, meski sekarang ia mulai merasa tak hidup.

Kenapa Dosa diberi nama Dosa? Apakah Dosa akan masuk neraka? Itu adalah pertanyaannya saat belajar mengaji di tempat Eyang Kayim. Waktu itu, Dosa mendapat senyuman keriput Eyang Kayim. Bukan nama yang membuatmu masuk neraka, tapi perbuatanmu. Lalu pertanyaan selanjutnya, apakah Dosa adalah Dosa bagi Ibu? Kenapa Ibu tidak mau bersama Dosa dan meninggalkan Dosa sendirian? Entah dengan kalimat apa Eyang Kayim membuat Dosa berhenti bertanya. Kalau ditanya sekarang, jawaban Eyang Kayim yang meninggal 2 tahun lalu sudah hilang dari ingatan Dosa kecil. Tidak bersisa. Tidak berkesan. Atau mungkin karena tidak bisa ia ingat dengan ukuran kepala pria kecil berumur 4 tahun 9 bulan.

Dosa berkaca-kaca. Matanya nampak sendu tapi indah. Merah tembaga terpapar senja. Angin sepoi yang sesekali lewat membuat rambut cepaknya bergerak-gerak.

Sekarang Dosa tidak memikirkan apa-apa. Ia hanya menikmati senja di pinggir sungai. Dengan perasaan yang terlalu sulit untuk membuat bibirnya tersenyum. Ia juga sudah seperti orang bisu sejak kematian Eyang Kayim. Ditanya bu Tini pun hanya menggeleng atau mengangguk. Entah ia masih bisa bicara atau tidak. Badannya sungguh kurus. Hanya mengenakan singlet putih bekas anak bu Tini. Celana kolornya bekas juga. Ada lubang bekas terkena puntung rokok di beberapa tempat.

Dosa duduk menekut lutut, memeluknya erat, lalu membenamkan wajahnya. Ia tidak memikirkan apa-apa lagi, ia menyerah untuk menyalahkan keadaan atau ibunya. Ia juga menyerah untuk menemukan kebahagiaan. Permainan anak-anak terlihat seperti olok-olokan untuknya. Entah sejak kapan ia jadi lebih sering sendiri. Teman-temannya juga menyerah untuk mengajaknya bermain karena Dosa hanya akan diam tanpa kata dan gerakan. Di setiap kesempatan, dosa hanya akan duduk diam dengan tatapan kosong. Meski begitu, telinganya selalu terpasang dengan sangat tajam mendengarkan setiap perkataan yang terdengar. Kadang, Dosa bisa mendengar percakapan dari gerbang masuk wisata sungai Rumpun. Seperti hari ini, meski hanya duduk dan tidak memikirkan apa-apa, telinganya awas dengan sekitar. Dan saat suara seorang pria menangis terisak dan mengucap namanya, ia seketika berdiri dan berbalik. Matanya mencari asal isak itu. Ucapan yang terdengar olehnya kemudian adalah, “Maafkan ayahmu nak.”

Saat suasana tidak jelas dan Dosa tak kunjung menemukan pria itu, yang mengaku ayahnya, tiba-tiba seseorang memeluknya dari arah sungai. Entah kenapa, detik itu juga, Dosa berteriak dan meneteskan air matanya untuk pertama kali sejak kematian Eyang Kayim. Para pengunjung memandanginya. Ia terduduk, masih dalam pelukan seseorang dari belakang.

Dosa terisak. Lama. Lama sekali. Sampai para pengunjung kembali sibuk dalam aktivitasnya. Menggigit sosis bakar. Memeluk kekasihnya. Menggandeng anaknya. Dan sebagainya. Perlahan mereka lupa dengan kehadiran Dosa. Mereka seolah tidak pernah mengenal Dosa. Bahkan bu Tini, ia sudah sibuk dengan sosis bakar pesanan pelanggannya.

Dosa berbalik. Saat itu, tidak ada yang ia temukan. Pelukan itu palsu. Semua seperti fatamorgana. Menghilang begitu saja. Hanya ada arus sungai yang mengalir. Bersama dengan bocah-bocah yang bermain-main di pinggir sungai, mencari ikan atau semacamnya. Dengan dua sejoli yang saling menyandar, berpelukan begitu mesranya. Semua pemandangan manis ada. Termasuk cahaya merah tembaga di langit yang begitu memesona. Yang tidak ada hanyalah harapan Dosa.

Dosa kembali terduduk diam. Perlahan. Sangat perlahan. Bersamaan dengan pudarnya cahaya merah tembaga di langit, bersamaan dengan datangnya kegelapan dari ufuk timur yang amat sangat perlahan. Menyatu dengan bayang-bayang pohon, batu, gubuk-gubuk, dan sebagainya. Dosa menghilang.

Dosa menghilang. Tak ada lagi Dosa yang meringkuk di atas batu besar di pinggir sungai. Begitupun di ingatan orang-orang. Ia pudar begitu saja. Menghilang seolah tak pernah ada. Seperti ibunya yang telah melahirkannya, yang juga menganggapnya tak pernah ada dan mengakhiri hidup. Dosa menghilang. Tak ada lagi pria kecil yang didewasakan oleh keadaan. Menanggung hidupnya sendiri dalam artian sesungguhnya. Ia benar-benar menghilang. Seperti sihir yang tak pernah ada dalam kenyataan. Tubuhnya benar-benar menghilang. Keberadaannya juga hilang.

Namun dalam keadaan yang sangat aneh itu, Dosa menyadari pelukan yang ia dapat barusan. Sosok yang tak nampak kini telah jelas terlihat. Pria dengan isak tangis. Dosa berdiri, pria itu kembali memeluk Dosa. Pelukannya seperti rengekan anak kecil yang begitu takut ditinggalkan ibunya ke pasar. Meski Dosa tidak pernah tau perasaan semacam itu.

Kali ini Dosa tidak berteriak atau menitikkan air mata. Kepalanya terasa lebih ringan dan perasaannya tidak sekusut sebelumnya. Sepertinya ia berhasil merajut isi kepala dengan baik. Membentuk syal merah yang rapi. Yang menghangatkannya dari dinginnya kehidupan yang telah ia alami. Kali ini, ujung-ujung bibirnya entah kenapa bisa terangkat. Ia tersenyum. Saat itu juga, tubuhnya membesar seukuran pria muda dewasa. Wajahnya tampan, tegas, meski matanya masih nampak sendu-sendu memesona. Bibirnya mencoba untuk mengucapkan sesuatu. Namun ternyata cukup sulit. Dengan terbata-bata, ia mengeluarkan sepatah kata, “A-ayah!”

Dosa memeluk ayahnya erat. Tubuh mereka perlahan bercahaya dan semakin terang dan terang hingga menyilaukan. Kemudian cahaya itu meledak, terberai menjadi miliaran butir-butir cahaya. Dengan sangat perlahan, butir-butir cahaya itu menjadi gumpalan yang hidup dan beranjak dewasa. Kalau kau penasaran seperti apa bentuknya, lihatlah langit malam yang cerah. Akan nampak jutaan kerlap-kerlip bintang di atas sana. Sebuah pemandangan yang dibentuk oleh keajaiban kasih sayang.


Halo, ini cerpen ke-2, di hari minggu ke-2 sejak aku post cerpen pertama. Sebenarnya karena sudah aku jadwalkan, jadi pasti akan dipublikasikan setiap Minggu, pukul 08.00 pagi.

Jangan lupa follow dan berikan kritik-sarannya ya. Terimakasih dan salam hangat untukmu yang berkenan membaca.

Yayan Dwi Krisdiantoro