[Curhat Kepenulisan] Menjadikan Menulis Sebagai Kebutuhan - Episode 2

Februari 05, 2019
Pikiran saya sedang buncah. Tahu kenapa? Entahlah, saya juga tidak begitu paham. Rasanya seperti, apa, ya? Rasanya ada yang mengganjal di hati, tapi tidak tahu apa. Rasa tertentu yang bangkit karena melakukan atau tidak melakukan sesuatu, terlewat atau melewatkan sesuatu, dan sebagainya. Pernah merasakan juga?

curhat-img

Saya tidak tahu apa
Atau bagaimana
Atau kenapa
Atau ... hanya perasaan saya saja?
Kalau-kalau ada puing hati yang jatuh
Kalau-kalau ada rasa yang hilang
Kalau-kalau ada sesal yang menumpuk di sini
Di dalam sini
Dada ini
Yang menyimpan banyak kenang
Yang menjadi sumber
Sumber semua rasa:
Yang hilang
Ataupun yang baru bermuara
Memangnya ... apa?

Saya kadang merasa aneh. Namun, orang gila tidak merasa dirinya gila, bukan? Maka saya tolak mentah-mentah bahwa saya aneh. Tentang beberapa deret tulisan di atas, saya biasa begitu. Saya menuliskan apa yang sedang berkecamuk di kepala. Seperti sebenarnya saya tahu apa yang saya pikirkan, tapi lama-lama malah menjadi samar dan saya bingung sedang memikirkan apa. Kalau saya ingat-ingat, malah bertambah jauh dari kepala, bahkan menghilang.

Saya pernah bilang, bukan? Bahwa saya menulis ketika sedang mood. Mood yang saya maksud bukan saat saya memang ingin menulis, tapi saat saya sedang banyak berpikir. Dalam pikiran, saya sering bertanya-tanya. Dan orang yang bertanya-tanya, di mana-mana, dianggap tidak tahu apa-apa. Dan benar, memang, saya tidak pernah tahu apa-apa.

Alasan kenapa saya sering menambahan kata barangkali, mungkin, dan kalimat ragu lainnya adalah karena saya sendiri tidak tahu jelas apa yang saya pikirkan atau saya rasakan. Dan saat itulah saya sering banyak menulis, banyak bertanya, kalau tidak tahu jawabannya, seringkali saya menuliskan sebuah analogi atau kisah. Lalu saya akan tanyakan, dalam tulisan itu, apakah begini adalah apa-apa yang sebenarnya sedang saya pikir tentang sesuatu. Manakah jawabannya? Yang mana?

Kalau beruntung, saya bisa tertawa sendiri setelah membaca tulisan saya. Saya benar-benar tidak percaya bahwa sayalah yang menuliskan paragraf-paragraf itu. Dan cukuplah membuat pikiran saya terasa lebih berongga, tidak sesak, tidak terlalu banyak pikir, menjauhkan khawatir atau pertanyaan-pertanyaan yang aneh sebelumnya. Pun mengurangi beban rasa atau barangkali membuat saya lupa akan puing rasa yang baru saja hilang atau datang.

Saya pikir, itulah titik pentingnya
Yang bisa menjadi benih menumbuhkan titik lain
Yang mampu mempelopori minat di dalam batin
Bahwa menulis bukan sekadar kegiatan
Kalau benar yakin
Kalau benar ingin
Mendekatinya ...
Memahaminya ...
Bahkan menguasainya
Adalah dengan bersahabat dengannya
Jangan ragu mencurahkan
Jangan ragu jujur mengatakan
Karena tulisan
Takkan memberi pengkhianatan

Sekarang, saya akan kembali bertanya. Sudahkah, dengan menulis, saya berkawan? Sudah cukup besarkah tali yang menghubungkan? Sudahkah menulis menjadi karbon monoksida yang akan selalu diutamakan oleh hemoglobin saya, mengikatnya? Kalau-kalau saya hanya datang sesekali untuk menumpahkan isi hati, atau sekadar menghamburkan air mata, masihkah ia menerima dengan lapang dan senyuman? Bahwa saya juga bisa takut, kalau-kalau menulis juga membenci karena hanya datang saat membutuhkan.

Salam yang semoga hangat,
Yayan Deka