[Menulis Cerpen] Membuat Kerangka Cerita

Januari 03, 2019
menulis cerpen 4
Original Image: Pixabay

Pernahkah kita memikirkan kenapa tubuh kita bisa berdiri dan berjalan? Kenapa orang kurus sering disebut tengkorak berjalan? Tidak lain adalah karena adanya kerangka yang menopang tubuh kita. Sehingga kita mampu berdiri, berjalan, bahkan berlari. Tentang sebutan tengkorak berjalan, itu karena otot yang menutup tulang-tulang kerangka tubuh kita terbatas. Lalu apa hubungannya kerangka dengan cerita atau tulisan yang akan kita buat?

Konsep berpikirnya sama dengan penjelasan singkat saya mengenai tubuh di atas. Sama seperti itu, hanya saja, ini kerangka yang akan menyusun cerita kita menjadi cerita yang lengkap. Artinya, kerangka adalah alat bantu kita sebelum menuliskan cerita lengkap sesuai dengan imajinasi yang sedang kita pikirkan. Arti lainnya, kerangka hanya berisi potongan-potongan kejadian dalam cerita kita. Saya rasa semuanya sudah paham mengenai pengertian itu. Kemudian,

Bagaimana cara kita membuat kerangka?

Ingat materi kita sebelumnya (dari awal ya)? Saat kita mulai menuangkan sebuah tema yang telah kita tentukan sebelumnya sebagai tulisan, ada kalanya kita sulit untuk menuliskannya. Benar? Ini pengalaman saya sendiri. Dalam bahasan sebelumnya, saya sarankan untuk menuliskan apa saja yang ada di pikiran kita meski itu hanya gambaran kasar--karena nantinya, pikiran kita akan menuntun menemukan kalimat-kalimat lain. Kita perjelas lagi . . . gambaran kasar yang saya maksudkan bisa berwujud "kerangka" ini.

Seperti apa bentuk sebuah kerangka cerita?

Tidak ada bentuk baku. Saya katakan demikian karena memang bentuk-bentuk baku hanya akan mempersulit kita dalam menulis. Apalagi bagi pemula (seperti saya), malah bisa membuat malas untuk menulis. Maka lihatlah lagi, apa gunanya kerangka? Untuk membantu. Lalu kalau malah menyusahkan? Tidak perlu dibuat. Sesimpel itu.

Awal mula menulis itu seperti sebuah pencarian jati diri. 

Dan tidak berbeda dengan orang melukis. Sebelum melukis kita tahu, kita harus mencari kuas yang pas, palet yang nyaman, cat yang cocok, dan aliran lukisan yang menuangkan emosi kita sejujur-jujurnya.

Persis seperti menulis. Gaya dalam menulis sangatlah bebas. Tidak ada batasan. Apalagi dalam dunia modern saat ini. Aturan-aturan klasik tentang sebuah tulisan fiksi sudah tidak kasat lagi. Orang-orang mengekspresikan bentuk atau gaya tulisan merea masing-masing.

Ingin contoh?
Sebut saja "Dee Lestari" yang sukses dengan serial Supernova-nya--dengan bahasa dan cara menulis yang begitu rumit bagi orang awam semacam saya. Atau "Raditya Dika" dengan gaya bahasanya yang ringan dan bernuansa komedi.

Kedua contoh di atas adalah orang-orang yang bereksperimen, mencoba hal baru, dan jujur tentang jati diri dan cara menulis mereka. Itulah poin pentingnya. Seperti kalimat yang sering kita dengar, "Tunjukkanlah jati dirimu!"

Kembali pada kerangka cerita. Kalau cerita itu berbentuk cerpen, maka pahamilah bahwa cerpen hanya mengusung satu kejadian dan tidak bertele-tele. Maka susunlah konflik yang terpikirkan, hanya poin-poinnya saja. Perhatikan contoh saya di bawah ini.

Kerangka cinta bertepuk sebelah tangan:

  1. X melamun di taman rumah sakit
  2. Flashback: X kecelakaan motor  sama S, masih pacarnya
  3. Di rumah sakit: Y mukul X dan bilang, "Kamu apakan pacarku?"
  4. Balik di taman, S (baru sembuh) bilang ke X, "Kita putus"


Sudah. Contoh di atas adalah kerangka yang saya buat dengan imajinasi langsung yang terbayang saat saya menuliskan "Kerangka cinta bertepuk sebelah tangan"--sebagai contoh dalam postingan saya kali ini. (Jangan berpikiran buruk mengenai saya).

Saya bisa bilang, hanya seperti itulah pembuatan kerangka. Menuliskan gambaran kasar tentang sebuah kejadian secara keseluruhan. Agar imajinasi kita dapat berganti ke detail peristiwa dan tidak mengkhawatirkan kalau-kalau bayangan cerita akan terlupa. Itulah gunanya menuliskan kerangka. Membuat kita tidak berpikir terlalu banyak. Artinya kita bisa lebih fokus pada tulisan kita, karena semua yang ada di pikiran sudah tertuang menjadi tulisan. Paham 'kan maksud saya?

Inti pengertian dari kerangka cerita adalah sama, baik pada cerpen, novelet, ataupun novel. Untuk puisi, saya rasa tidak perlu kerangka karena jumlah kalimatnya tidak akan begitu banyak. Atau, setidaknya itulah yang saya pikirkan.

"Kerangka bisa ditulis dalam bentuk narasi."

Tentang contoh kerangka yang saya buat, jangan terlalu terpaku pada bentuk seperti itu. Kerangka bisa pula dituliskan dalam bentuk narasi, atau pun campuran narasi dialog. Carilah bentuk yang sesuai dengan pola pikir kita. Apakah akan lebih mudah dalam poin poin penting, narasi yang mengalir, atau dalam cerita singkat. Terserah. Carilah yang paling nyaman. Kalau tidak ada yang nyaman?

"Kalau tidak nyaman, tidak perlu membuat kerangka."

Kalau tidak ada cara yang nyaman, itu artinya, kita tidak perlu menuliskan kerangka. Langsung saja menuliskan ide kita menjadi cerita utuh. Kalau dengan cara langsung semacam ini adalah yang paling mudah, ya tidak perlu ragu. Lakukan saja. Kita punya hak penuh atas apa yang kita tuliskan dari imajinasi atau renungan. Asalkan tidak menyangkut pihak lain dalam konteks yang merugikan. Kita bebas. Merdeka. Dan semaunya. Batasnya ditentukan pada seberapa kuat atau besar imajinasi atau pemikiran mempengaruhi tulisan kita.

Begitu. Jika ada kalimat saya yang kurang pantas saya mohon maaf. Saya hanya berharap semoga tulisan saya bisa bermanfaat.

Salam,
Admin kyd.