Sebuah permulaan seringkali membosankan dan klise. Memang. Seperti permulaan saya dalam menulis. Kalau diingat-ingat kembali, saya tidak pernah ada keinginan atau ketertarikan sebelumnya dengan dunia tulis-menulis. Agar lebih mudah, saya akan bercerita secara kronologis, berikut.
-
Saya pernah mengikuti lomba sinopsis saat SD (Sekolah Dasar).
Kalau saya ingat, pertama kali saya mengenal dunia tulis menulis adalah saat mengikuti lomba menulis sinopsis dan menceritakannya saat SD. Waktu itu kalah, tidak asyik sama sekali.
Saya kalah karena saya tidak pernah berlatih. Buku cerita yang dilombakan sudah diberi salinannya sekitar seminggu sebelumnya. Namun, saya malah belum selesai membacanya. Begitulah kira-kira. Saat hari H lomba, sinopsis yang saya buat alakadarnya dan tidak lolos final: bercerita.
Cukup kecewa karena dari pihak sekolah juga kurang dalam melatih. Saya dipilih secara langsung dengan seorang teman saya karena selalu ranking 2 besar di sekolah. Sungguh tidak fair, bukan? Begitulah.
Namun bukan hal itu yang ingin saya ceritakan. Ini: buku itu, sampai sekarang saya masih ingat ceritanya. Kalau tidak salah, judulnya Terdampar di Pulai Karang. Pengarangnya saya lupa. Setelah selesai membaca, saya benar-benar terkesan dengan ceritanya yang berakhir tragis--sad ending.
Sejak merasa berkesan itulah, saya pertama kali ingin menulis dan mencoba menulis di sebuah buku. Ingin rasanya tulisan saya bisa memberi kesan di hati orang, seperti tulisan itu yang saya baca. Usia 9 atau 10, waktu itu, saya. Di buku itu, saya tuliskan cerita yang ingin saya tulis. Kurang lebih, jalan ceritanya sama dengan cerita Terdamparnya di Pulau Karang. Hanya saja, setting tempatnya berbeda. Kalau Terdampar di Pulau Karang cerita di pesisir pantai, yang saya buat di dekat hutan dan pegunungan. (Wkwkwk).
Namun tidak sampai selesai, saya lulus SD dan lupa akan hal itu. Ingat kemudian entah kapan karena saya menemukan kembali buku cerita yang saya tulis itu. Saya baca. Tertawa saya. Ada malu ada sedih ada banyak rasa. Akhirnya saya cari lagi salinan cerita Terdampar di Pulau Karang. Memang bagus!
-
Lanjut menulis saat ikut lomba esai di SMA bersama seorang teman.
Masa SMP saya lewatkan karena di SMP, saya sangat sibuk, entah mengapa. Di SMP saya ikut OSIS, pramuka inti dan ikut lomba tingkat, PMR dan ikut Jumbara, dan lomba-lomba seni. Dulu saya suka menggambar, sering saya ikut lomba seperti lomba poster, lomba seni kriya, lomba kaligrafi, hingga lomba desain batik. Salah satu desain batik saya abadikan di sebuah bingkai dan saya pajang di rumah. Kenang-kenangan. Di SMP juga, saya bisa merasakan yang namanya naik pesawat Garuda Indonesia gratis pulang-pergi. Hampir ke Singapura gratis, tapi gagal. Itulah awal mula saya merasa bahwa selama ini saya terlalu bermain-main dan hanya mengandalkan keberuntungan. Saya mulai menjadi diam dan banyak pikir--menjadikan saya introvert barangkali.
Kehidupan itulah yang membawa saya ke SMA. Namun di SMA, saya pasif. Entah kenapa. Saya merasa, itu bukan diri saya sebelumnya. Hingga sampai sekarang, saya tetap seperti ini. Saya bisa jadi sangat cerewet atau sangat pendiam.
Lomba esai itu kalau tidak salah akhir kelas 2 atau XI. Saya dan teman saya menjadi finalis. Mempresentasikan esai itu ke sebuah perguruan tinggi, dan itu mengasyikkan!
Hadiahnya memang tidak seberapa, tapi saya merasakan lagi asyik yang pernah saya alami sewaktu SMP dulu. Bahwa ikut lomba itu sungguh menyenangkan dan membangkitkan semangat.
Sebenarnya lomba esai itu juga karena saya ikut sebuah ekstra kurikuler sejak kelas X (Karya Ilmiah Remaja/KIR), tapi belum pernuh ikut lomba apapun. Jadi, kelas XI dicobalah bersama dengan teman yang memang dasarnya dia rajin dan pintar. Kalau dipikir-pikir, sepertinya saya bisa lolos ke final karena saya satu tim dengannya.
Itulah awal mula. Karena saya sudah merasakan nikmatnya menjadi calon juara, wkwkwk, jadi mulailah saya menulis esai-esai yang lain. Meski hingga lulus SMA, belum ada juga esai saya yang tembus juara atau minimal menjadi finalis seperti sebelumnya. Yah, nasib memang. Itulah kenapa saya menyimpulkan bahwa saya bisa jadi finalis karena satu tim dengan teman saya itu.
-
Menjadi salah satu perintis berdirinya komunitas baca-tulis langsung di bawah perpustakaan SMA.
Sejak awal mula kelas XI kayaknya, saya mulai suka ke perpustakaan. Sebelumnya, di SMP, saya juga ke perpustakaan, tapi tidak suka baca. Karena saya akrab saja dengan penjaganya dan saya suka suasananya.
Di perpustakaan SMA, saya juga akrab dengan salah satu pengurusnya. Orang yang bisa dibilang baru, tapi mampu membawa perubahan pada kehidupan perpustakaan SMA menjadi lebih baik. Saya menyukai kerjanya. Lelaki kurus yang ramah dan baik hati. Mari kita panggil sebagai Mas A.
Mas A mengajak kami, saya dan beberapa teman, kira-kira jumlahnya 6 atau 7 orang dengan Mas A, membentuk sebuah komunitas baca-tulis di bawah naungan perpustakaan sekolah untuk menghidupkan suasana perpustakaan. Sudah cukup lama sebenarnya ia ceritakan kepada kami hingga akhirnya dibentuklah komunitas itu. Namanya saya rahasiakan, nanti ketahuan deh identitas saya kalau dicari, wkwkwk.
Kami mengajukan proposal ke kepala sekolah dan langsung diterima. Beberapa kali kami sempat mengadakan kegiatan juga di hari-hari besar, seperti hari Kartini, Buku Sedunia, dan sebagainya. Kami, anggota komunitas yang mengordinasi. Itulah pertama kali saya merasa berorganisasi di SMA, meski saya juga ikut sebuah organisasi di sekolah. Namun saya malah merasakan lebih di komunitas itu. Mungkin karena anggota juga tidak banyak, ya. Jadi kami kerja efektif dan solid.
-
Pernah ikut pelatihan menulis prosa berkat komunitas di bawah perpustakaan SMA.
Kenapa saya merasa menuliskan perjalanan hidup saya, ya? Wkwkwkwk. Mas A mengenal seorang cerpenis yang handal dan namanya sering nangkring di Kompas dengan semboyannya yang kira-kira seperti ini: "Sastra untuk sastra."
Tulisannya yang paling fenomenal tentang pohon, judulnya coba tebak, sebuah cerpen.
Waktu itu adalah pelatihan menulis prosa selama 3 hari bersama dengan cerpenis itu. Saya dan seorang teman saya diikutkan oleh Mas A. Saya mau saja, kan gratis. Wkwkwk. Cerita lengkap pelatihan itu di lain waktu, ya. Akan sangat panjang jika diceritakan sekarang.
Singkat cerita, dari sanalah saya mendapat banyakmotivasi menulis. Banyak mendapat cacian sekaligus pujian. Bertemu dengan penulis-penulis hebat. Bahkan saya bertemu dengan seorang perempuan yang mendapatkan 100 juta kalau tidak salah dari menulis sebuah cerpen, saat ia menjadi TKW. Itu adalah event besar karena lintas negara, taraf internasional. Saya takjub sejak saat itu. Hanya dengan tiga lembar kertas yang ditulisi sebuah cerita orang rantau dihargai 100 juta? Wow!
Selain motivasi positif semacam itu, saya juga mendapat kritik yang sangat menyakitkan. Sungguh! Saya masih ingat dan selalu saya ingat, tidak bisa saya lupakan. Mungkin teman saya juga masih akan ingat jika saya ceritakan kembali.
Saat ikut pelatihan itu, saya benar-benar belum tahu apa-apa tentang sastra. Dan saya bukan anak bahasa! Saya lebih suka menghitung titik koordinat atau reaksi oksidasi ketimbang bahasa. Saya benar-benar merasa sakit hati sekali. Sampai saat ini saya pendam dan bukannya dendam, itu menjadi motivasi saya sendiri, yang membuat saya merasa saya harus terus belajar dan takkan pantas mendapat gelar "penulis" jika saya berhenti belajar.
Salam yang masih selalu hangat,
Yayan Deka