[Curhat Kepenulisan] Pencarian Jati Diri - Episode 2

Januari 24, 2019
Saya sampaikan lagi rambu membaca di blog saya, wkwkwk. Ini hanyalah curhatan saja. Kalau bermanfaat saya bersyukur. Ngomong-ngomong ini episode 2, jangan lupa baca episode 1 dulu, ya. Selamat membaca.

curhat-img

Sebenarnya saya bingung juga apa yang hendak saya ceritakan. Namun, ya, saya coba lanjutkan cerita kemarin saja, ya. Kalau tidak salah, kemarin saya bercerita sampai mengikuti pelatihan menulis berkat komunitas yang didirikan bersama di bawah naungan perpustakaan SMA. Jadi, saya akan cerita setelah kepulangan dari pelatihan.
  1. Saya mulai menyukai menulis dan melupakan belajar.

    Gila juga, bukan, saya? Seolah api kecil yang hampir tidak pernah ada di dalam hati saya baru saja disiram dengan seember minyak. Pantas saja, bukan, kalau langsung membara menjilat-jilat?

    Perkataan itu benar-benar menjadi sumber api abadi di dalam hati saya. Namun entah kenapa, api itu hanya memengaruhi perasaan saya dalam sekian hari. Selepasnya, perasaan saya kembali stabil dan tidak lagi terpengaruh. Tetap, perasaan itu tetap ada, hanya saja seperti sudah menyatu dengan diri saya. Jadi, saya bisa menerima perkataan itu, menerima keadaan saya sendiri, dan semua itu berkat belajar menulis sampai lupa belajar. Padahal saya masih kelas XI SMA (wkwkwk).

    Yang ingin saya ceritakan adalah bahwa menulis bisa menjadikan diri bak orang lain. Awalnya saya merasa begitu, tapi ternyata bukan. Menulis memberikan kebiasan baru pada diri kita, memberi kita sudut yang lebih banyak dalam memandang sesuatu. Saya lanjutkan keanehan yang saya rasa terjadi pada diri saya, di bawah.

  2. Saya mulai penasaran memahami suatu perasaan.

    Mungkin bisa dikata bahwa saya menjadi lebih perasa, tapi sesungguhnya tidaklah berarti demikian: sensitif dan sebagainya. Tidak. Yang saya maksud, saya sering tersenyum jika memperhatikan kelakuan orang yang menampilkan ekspresi dan memahami apa yang dia rasakan.

    Mengapa saya sebut sebagai keanehan? Jelas, lah, karena tidak peduli rasa apa itu, membuat saya penasaran. Saya beri sebuah contoh, saya ingin tahu perasaan marah dan ekspresi orang saat marah. Saya kemudian akan membuat kondisi untuk saya bisa benar-benar marah atau orang lain marah karena saya. Setelah itu, saya nikmati kemarahan itu. Selepasnya, apa yang terjadi? Saya terbahak mengingat saya melakukan semua itu hanya karena saya tidak tahu apa itu marah.

    Sebenarnya kurang tepatkalau saya bilang tidak tahu, hanya saja saya ingin lebih memahaminya. Apalagi setiap rasa diekspresikan berbeda pada setiap orang. Bukankah dengan begitu, kita juga bisa memahami orang lain dengan lebih baik?

  3. Saya sering bereksperimen dengan teman-teman dekat sebagai kebiasaan baru saya: membawa fiksi ke dunia nyata.

    Sesaat setelah saya mulai penasaran dengan cara orang berekspresi dan mencaritahu lebih banyak tentang sebuah perasaan, saya mulai membuat eksperimen rahasia yang hanya saya yang tahu sedang bereksperimen.

    Kadang saya bisa jadi orang yang sangat aneh. Saya berakting, tapi benar-benar nyata. Bukan akting yang sebentar dan hal receh. Saya sering bermain-main dengan pilihan. Contoh sederhananya saja, saya diajak main untuk menemani teman saya. Biasanya saya jawab iya, sekarang saya jawab tidak, lalu mulai mengamati ekspresi sekaligus tindakan dia setelah penolakan dari saya. Pilihan ini tidak saya batalkan dan kemudian bilang bahwa saya hanya bercanda. Saya melanjutkannya.

    Itu hanya contoh kecil. Banyak hal akhirnya membuat saya sulit membedakan mana yang benar-benar pilihan saya atau yang hanya penasaran saja. Mana yangseharusnya saya pilih atau mana yang seharusnya tidak perlu dipikirkan. Sekali lagi hal-hal demikian membuat saya menjadi sering berpikir dan diam dan penuh kenaifan.

  4. Saya mulai merasa segala tindakan saya hanyalah formalitas saja dan tidak ada yang begitu menarik lagi bagi saya.

    Entah kenapa, semakin lama, semakin saya merasa bahwa saya telah kehilangan diri saya yang sebelumnya. Berubah menjadi sosok baru yang bertindak karena formalitas. Entah itu benar-benar hanya formalitas atau memang itulah diri saya sekarang.

    Saya menjadi semakin bingung untuk menanggapi banyak hal terhadap orang lain. Kalaupun saya sudah menentukan sebuah pilihan, pertanyaan berikutnya selalu datang tidak berkesudahan. Tentang apa yang dia rasakan, apa yang dia dipikirkan tentang saya, dan sebagainya dan lainnya.

    Jadilah saya seperti sekarang ini, wkwkwk.

  5. Seiring berjalannya waktu, gaya tulisan mulai berubah bersamaan dengan kepribadian saya.

    Gaya menulis saya maksudnya cara saya menceritakan sesuatu menggunakan tulisan. Bukan hanya itu, tema tulisan juga secara keseluruhan berubah. Sebelumnya saya menulis banyak hal, sekarang saya selalu menulis dengan konflik pikiran tokoh utamanya. Tentang kebingungannya, tentang ketidaktahuannya, tentang anggapannya yang tidak ia tahu benar atau salah, tentang keraguannya,dan tentang banyak hal yang menjurus pada hal menyedihkan dan keterpurukan dan memalukan dan sebagainya.

    Seringkali saya hanya menuliskan kondisi seperti itu dan membiarkan pembaca menemukan jawabannya sendiri.

  6. Itu masa dulu, wkwkwk, sekarang sudah berbeda lagi.

    Meski dalam poin-poin sebelumnya saya menggunakan kata "sekarang" maksudnya bukan sekarang, saat saya menulis ini, tapi sekarang dalam waktu itu, wkwkwk. Saya memang masih merasa bahwa diri saya masih sering berformalitas saja--namun berkelanjutan. Sehingga saya terima saja itu, wkwkwk. Hal itulah yang akhirnya membentuk saya (benar-benar waktu sekarang) sering memilih untuk tidak peduli.

    Meski di kepala saya banyak yang berseliweran minta dipikirkan, tapi sikap saya bisa menunjukkan ketidakpedulian. Saya bilang begini karena saya pikir orang lain berpikir begitu mengenai saya. Ngomong-ngomong, tentang kebiasaan saya memperhatikan perangai orang atas suatu kondisi yang saya ciptakan, masih saya lakukan sampai sekarang. Hanya teman dekat saya yang saya beri tahu. Dan eksperimen demikian tidak lagi berpengaruh pada teman dekat yang sudah saya beri tahu. Jadi, kalau itu teman dekat saya, maka ia akan lebih sering memaksa saya, wkwkwk.

    Namun saya tidak tahu, sampai mana mereka tahu bahwa saya hanya berpura-pura. Tetap saja, semakin besar tindakan kausal yang saya ciptakan, meski dia sudah saya beri tahu, tetap saja itu bisa berhasil. Hanya yang saya takutkan, bagaimana jika saya kehilangan teman? Wkwkwk.
Saya cukupkan dulu sesi curhatan di episode 2 ini. Semoga teman-teman merasa dibawa berputar-putar dengan pikiran saya yang belibet tidak karuan. Semoga bosan sehingga tidak membacanya sampai selesai. Semoga hanya bagian awal dan belakang saja, jadirahasia saya aman, wkwkwk.

Sebenarnya saya penasaran, adakah bagian tentang kepenulisan di episode 2 ini? Kok, saya rasa, semuanya hanya berisi curhatan tidak berguna, ya? Padahal saya ingin bilang bahwa dalam belajar menulis, cobalah menjadikannya sebagai bagian dari hidup kita. Cobalah untuk memahami sekitar kita lebih dalam lagi. Banyak hal sederhana yang selama ini tidak kita perhatikan ternyata memberikan manfaat atau dampak yang cukup besar dalam perasaan, pikiran, dan tindakan orang-orang.

Menulis mengajari kita banyak hal. Sungguh.

Salam,
Yayan Deka