Andai Aku Juga

Agustus 19, 2018
cloud

Aku mengumpat waktu itu, mendengarnya. Sebenarnya sudah sering aku dengar, tapi keadaannya tidak sama seperti sebelum-sebelumnya. Dan cara mengartikan kalimat itu tidak lagi sama. Ada rasa dongkol yang tertahan pada akhirnya, dan segumpal air mata yang tertahan.
Katanya, "Aku akan menabung. Mau beli sesuatu."
Bukankah kalimat itu terdengar biasa  saja? Akupun sekarang bingung, kenapa waktu itu bisa membuatku seolah mati rasa.

Kulanjutkan, katanya, "Tapi kayaknya nggak bakal cukup waktunya."
Sementara, aku saksikan, bahkan takperlu mengurangi jatah makan atau apalah untuk menyisihkan uang. Makanannya tetap mewah.
Aku menelan ludah. Barangkali hanya aku yang iri atau aku yang takbisa mensyukuri. Pun mungkin, aku terlalu banyak mengeluh. Bisa jadi, malah besarannya yang tidak kuterima.
Aku diam. Lama. Banyak yang kupikirkan. Banyak dugaan-dugaan menuntut, berbaris mengantri minta diperhatikan. Andai... aku juga bisa menabung.
Keluarlah sebuah kalimat di kepalaku. "Akupun bisa menabung! Tapi bukan untuk membeli sesuatu atau apa, melainkan untuk kelanjutan hidupku ke depannya."
Kalimat lain menimpal, "Artinya, aku hanya mengirit atau malah pelit. Terlalu mengkhawatirkan kehidupan ke depan."
Ada lagi, "Terlalu khawatir? Memangnya kau bisa sebut terlalu saat tiba esok lusa atau dalam hitungan hari yang takbanyak itu, berhenti makan?"
Sudah sudah. Mataku mulai mengembun. Dadaku terasa sesak untuk sekadar membuat sahut sahutan pernyataan. Yang aku sadari kemudian, aku hanya perlu berusaha lebih keras darinya. Hanya itu. Berdoa yang terbaik. Dan membiarkan diriku pergi dari rasa ini. Benar. Aku harus menata lagi perasaanku. Mana yang akan dan tidak perlu ditampilkan pada saat tertentu.

Semarang, 19 Agustus 2018
Yayan Deka