The Forgotten

Juli 08, 2018
(Src: Pixabay)

“Untukmu, yang membaca. Bahkan jika kemustahilan bisa manusia lakukan, yang terlewat takkan bisa diubah, yang memang harus hilang takkan bisa ditemukan, dan waktu yang berlalu takkan kembali. Itulah takdir, jangan melawannya! Nikmati hidup dan waktumu untuk masa depan.”—The Forgotten.


Angin bertiup pelan menerbangkan debu-debu kasat mata ke arah entah, yang pula mendistribusikan bisikan-bisikan rahasia kepada daun-daun berjejer. Ranting-ranting bersih tanpa sepasangpun kaki-kaki bertengger, seperti hamparan biru muda di atas sana yang bersih tanpa setitikpun gumpalan putih. Lengang. Jalanan juga begitu. Namun, jika hendak ditelusuri, akan terlihat seseorang yang sedang sibuk menoreh sesuatu di atas kertas. Hanya perlu berjalan sedikit ke depan gang sana, berbelok ke kanan, dan sepuluh meter di depan akan terlihat sebuah rumah yang modelnya sedikit berbeda dari rumah-rumah di sekitarnya. Disanalah satu-satunya orang yang sadar akan dampak ambisi fananya. Namun, perhatikanlah baik-baik setelah sampai di sana. Orang itu mulai pudar, bukan?

***

“Hentikan!” 
“Tidak! Zaman telah modern, kamu masih menganggap ini tabu?”
“Bukan begitu ....” 
“Tapi? Kamu hanya perlu percaya padaku! Aku akan membawa mereka kembali bersamaku,” Aku telah berusaha sebanyak ini, tidak mungkin bagiku  untuk kembali dan mengakhiri semuanya. 

“Tapi ... Aku takut. Sudah banyak yang-“
“Hentikan omong kosongmu! Aku akan tetap mengujinya. Itu lebih baik dari keadaan ini, kamu mengetahuinya!” Maaf, aku harus pergi.  Sebulir air menetes begitu saja dari mataku. 

“Ba-baiklah. Aku menyerah. Lakukan semau kakak,” Ia tidak melihat mataku lagi, langsung pergi begitu saja meninggalkanku di ruangan sempit ini. Akan lebih baik jika ia menjagaku  di luar sana, tapi, pantaskah aku berharap demikian? Aku ingin menyeka air matanya, tapi untuk apa? Jika tanganku takkan mampu menjangkau hatinya.

Perlahan, pintu ruang kecil ini mulai tertutup. Sebentar membuatku takut dengan gulitanya yang semakin membuat dadaku sesak. Namun seketika ribuan cahaya berkerlap-kerlip menerangi ruangan ini. Dan aku, kepalaku, ada apa? Tiba-tiba begitu berat. Dadaku sesak sekali. Ah, kepalaku berputar-putar. Ada apa denganku? Kerlap-kerlip itu hilang sedikit demi sedikit dan kegelapan memakanku perlahan. Apa yang terjadi padaku?

Ah! Aku benar-benar takmampu menahannya. Sial! Berapa lama aku pingsan? Pintu ruangan telah terbuka, tapi aku justru tidur di sini? 

“Halo ... nak?”
Aku mengernyit sembari mengedar pandangan. Siapa itu?

“Perjalananmu ... melelahkan bukan?” Tiba-tiba saja sebuah cangkir aroma teh melati muncul dari pintu ruangan kecilku.

“Ah!” Aku menyandar kursi kuat-kuat, memegang dadaku yang kembang kempis. Ia hendak membuatku jantungan?

“Keluarlah. Ceritakan tentang dirimu,” Suaranya lalu menjauh bersamaan dengan cangkir teh itu. Aku masih belum mengerti dengan keadaan ini, tapi aku beranikan diri keluar dari ruangan kecilku, kapsul waktu. Iya! Itu bukan sekadar nama, tapi benar-benar kapsul yang melintasi waktu, percayalah!

“Siapa Anda?” Aku keluar dari kapsul bersamaan dengan pertanyaan dari tenggorokanku. Namun takkunjung ada jawaban.

“Kamu baru pertama melihatnya?” Ia segera tersenyum saat melihat aku melongo tanpa bertanya lagi. Bagaimana tidak? 
Dua menit lalu, aku jelas sekali melihat seorang pria muda masuk diantar seorang wanita ke dalam sebuah ruang kecil yang aku lihat pasti tidak ada orang lain selain dirinya di ruang itu. Namun, kenapa sekarang justru kakek tua renta yang keluar dari ruangan itu? Jelas sekali tidak ada orang lain. Dan wanita itu menyambutnya dengan senyuman, lalu mereka pergi bersama. Tidak! Tidak! Bagaimana bisa begitu? Kemana pria tadi? Kenapa ia menganggap kakek itu seperti pria tadi? Apa apaan ini?

“Itu orang yang sama. Kamu bingung?” Orang dengan cangkir teh melati itu memberikan cangkirnya padaku yang tengah meremas kepala, “Itu hukuman melintasi waktu. Ceritakan saja tentang dirimu lebih dulu. Aku akan membantu.”
Aku mengernyit, apa katanya? Hukuman?

“Baiklah,” Aku akhirnya memulai cerita, kupikir itulah yang terbaik. Dan beberapa puluh menit berlalu dengan cepat. Aku sempat tidak sadar bahwa tetes demi tetes air meluncur deras di pipiku. Lebih dari itu, sekarang aku tengah memeluknya. Hangat.

“Kamu tumbuh dengan baik,” Orang itu mengelus kepalaku. Seketika itu aku sadar. Aku segera melepas pelukanku, mengusap air mata, dan menyiapkan mimik serius.

“Namun yang perlu kamu tahu, dunia ini punya aturannya sendiri. Apa yang telah hilang dari dunia ini, tidak mungkin bisa dikembalikan, itulah takdir.” Aku terdiam mendengar ucapannya. Kali ini ambisiku kelu. Memang begitu logika dunia. Se-modern apapun zaman, logika dunia tidak akan berubah layaknya cerita fantasi yang penuh dengan imajinasi. Aku tahu! Tapi ... ini begitu menyakitkan. Aku takkan berhenti sekarang! Bahkan jika aku harus menjadi tua.

“Kapsul waktumu berbeda. Kamu takdatang dari bumi ini?”
“Maksudnya?” Aku mengernyit. Jelas-jelas aku manusia, sama seperti mereka.
“Ah ... maksudku, kita memang di bumi yang sama, tapi ruang kita berbeda. Pernahkah kamu dengar dunia paralel?” Apa lagi sekarang?

“Dunia paralel adalah bayangan tempatmu, bumi inti, untuk melangsungkan hidup. Pernahkah kamu dihadapkan pilihan yang membuatmu harus memilih salah satu?”
Aku masih sulit menerimanya, tapi, “Ya, aku sering dibuat bimbang jika harus memilih.”

“Tentu,” Ia tersenyum mendengar jawabanku, “Semua pilihan yang tidak kamu ambil tetap hidup. Namun dalam ruang yang berbeda. Dan kamu sedang berada di salah satu paralel bumi inti itu.”
Ia masih terus menceritakan segalanya. Pun aku yang tetap mendengarkan dengan baik. Dan setelah tarikan napas panjangnya, ia membisikkan kalimat yang membuatku kaku, “Hukumanmu bukan hanya melintasi waktu, tapi perjalanan antar-ruang. Kamu sanggup menerimanya? Atau kamu akan tetap disini?”

“Tidak! Kembalikan saja aku.”
“Meskipun itu percuma? Baiklah.”

Setelah akhir percakapan itu, aku memejam mata dalam-dalam. Gelap. Saat aku angkat kelopak mataku, semuanya nampak jelas lagi, dan aku telah berdiri dalam rumah tuaku di dalam perumahan yang aku tempati dengan adik perempuanku. Aku kembali. 
Aku segera mengambil sebuah pena. Aku biarkan tanganku menari bersama pena itu, dan aku biarkan pula air mata ini menetes di atas kertas itu. Sekarang, aku akan dihukum. Bahkan jika itu adalah ketidaktahuan?

Ah, lihat, sudah dimulai. Aku mulai transparan, bukan?
Benar. Aku akan hilang, itulah hukumanku. Bukan hanya keberadaanku di dunia ini, tapi dalam ingatan mereka yang telah mengenalku. Mereka akan lupa dan takkan pernah mengingatku seolah takpernah lahir ke dunia ini. Itulah hukuman atas ambisi dan ketidaktahuanku melawan takdir, mencoba membawa orang tuaku dari kematian.
Hei, jangan lihat air mataku! 

###

Cerita di atas sudah diterbitkan dalam sebuah kumpulan cerpen oleh Penerbit Ellunar. Untuk cerpen-cerpen lain, silahkan beli bukunya ya di Ellunar Publisher. 

###

Salam, 
Yayan Deka