Penghakiman Lingkungan

April 04, 2018
(Src: Pixabay)
Barangkali ini hanya sekadar curhatan orang aneh yang dianggap aneh bagi lingkungan normal. Yang sedang aku bicarakan memang penghakiman. Siapa lagi? Lingkungan yang menentukan demikian. Dengan tanpa tahu dasar ataupun latar belakang, seseorang mendapat julukan, tuduhan, penilaian, dan lain sebagainya yang tidak mengenakkan. Bahkan bisa dikatakan, apa yang dihakimkan oleh lingkungan adalah kebenaran meski kenyataan berkebalikan.

Bisa kau pikirkan atau coba kau rasakan jika takpercaya. Aku tidak membenci lingkungan, karena aku juga hidup di dalamnya. Aku tidak membenci keadaan, barangkali memang aku yang menciptakan keadaan demikian. Namun aku merasakan. Hatiku bekerja saat kau tuduh, saat kau hakimi, saat kau nilai, tentang diriku.


Kata orang, memang, semakin banyak masalah seseorang maka akan semakin kuat hatinya. Sebuah pelatihan. Namun bukan lagi soal latihan jika kau lakukan itu hanya karena rasa egoismu. Hanya karena kau tidak suka sesuatu atau kau menyukainya, kau melupakan bahwa dalam lingkungan ada banyak unsur.

Tudakkah kau sadari itu?

Kata kata yang terucap di lingkungan, bukan hanya ruang curhatmu pribadi. Melainkan tempat umum yang akan ada banyak penilaian, pengikutan, dan lain sebagainya yang ikut-ikut dalam urusan. Di saat sekelompok masa digiring dengan sekian kata-kata, tidakkah kau sadari bahwa akan ada unsur yang kau sakiti dan kau hakimi? Puas kau menggunakan penghakiman lingkungan?
Barangkali kau mengernyit aneh dengan bahasanku, tapi memang dalam beberapa hal penghakiman lingkungan bisa bersifat baik. Dan namanya akan aku ubah menjadi kekuatan masa, daripada penghakiman lingkungan, jika ia berjalan pada kebaikan. Kau tahu maksudku sekarang?
Aku setuju dengan "mulutmu adalah harimaumu" tapi aku lebih setuju jika "mulutmu lebih tajam dan menyakitkan dari katana, yang membunuh orang lain sedikit demi sedikit".

Jika memang pada akhirnya kau mendapati karma atas mulutmu, tapi kau telah lebih dulu menguliti orang lain. Pemicu. Bagiku, kau yang seperti itulah pemicu ketidakbaikan dalam arti "kekuatan masa" dan menodai makna serta fungsi positifnya. Kau bicara seenaknya tanpa peduli yang kau bicarakan seolah kau paling benar, paling suci, paling baik dari paling paling lain yang kau dalilkan saat bicara. Kau kira kau Tuhan semesta alam?

Barangkali kalimatku seperti ini juga hanyalah sebuah penghakiman. Kau akan bilang bahwa kau juga punya hak. Dan bermula dari hal semacam itulah penghakiman lingkungan tumbuh. Mulau dari prasangka, yang tertimbun oleh prasangka lain, lagi, lagi, dan lagi sampai kau tidak sadar bahwa kau telah melenceng jauh dari kenyataan. Kebenaran yang kau pegang hanya imajinasi sekaligus ambisi dari prasangka prasangkamu saja. Lalu seseorang akan mati. Kau membunuhnya dengan kalimatmu itu, dengan penghakiman itu, membawa-bawa masa untuk masuk dalam kemelencengan pikirmu dari kenyataan.

Jika sudah begitu, dan ternyata kebenaran dari kenyataan terungkap. Lalu kau sudah tidak peduli. Kata "maaf" seolah telah menghapus semua. Dan hati yang rusak karenanya seolah kembali utuh tanpa segorespun luka. Dan lain kali kau bilang, masalah yang telah aku hadapi telah menguatkan hatiku. Telah mendewasakan pikir sekaligus mendalamkan lubuk hati dari pengaruh perasaan perasaan takberarti. Dan kau bilang, aku ini orang yang kuat. Sabar. Dan lain sebagainya sebagai topeng untuk menunjukkan bahwa kau takmau disalahkan.

Barangkali juga, percuma aku menyampaikan demikian. Aku hanya orang aneh yang dihakimi lingkungan normal. Barangkali aku telah dianggap hilang akal atas logika hidup dan lingkungan. Senyumku saja kau anggap kegilaan, kalinatku kau anggap ocehan bocah lima tahunan, dan tangisku kau anggap akting drama jalanan.
Sudah. Cukup aku bicara.

Salam,
Yayan Deka