Arogansi Rasa

April 12, 2018
(Src: Pixabay)
Aku bukan kau. Kau bukan aku. Pribadiku. Pribadimu. Terhubung atas kepentingan, bukan mementingkan. Perbedaan ada. Kesamaan, itulah kepentingan. Namun bukan berarti dengan jembatan kepentingan kemudian perbedaan diseragamkan. Tidak. Perbedaan untuk keberagaman.
Baik di matamu. Hanya sudut pandang. Tidak baik di mataku, setali tiga uang. Namun jelas bahwa setiap pribadi, memang harusnya berbeda. Sedari awalnya setiap kita, dicipta dengan perbedaan. Dalam pemilihan jalan hidup, ada ribuan percabangan yang membentuk diri kita sekarang.
Perjalanan sejauh ini, berbeda pada tiap pribadi. Barangkali kau dapatkan posisi, pikir, dan kuasa sekarang ini dengan mudah. Barangkali orang lain perlu merangkak, atau menjadi bayangan pecundang orang lain. Atau mungkin, percabangan pilihan-pilihan hidup bahkan masih berserakan tanpa kejelasan.




Sekali lagi, tiap pribadi berbeda beda. Bahkan pada hal yang sekecil debu--bagimu--bisa meruntuhkan sebagian hati seseorang. Kau terlena, pada pikirmu. Kau terlena dengan ambisi dan meninggikan keegoisan untuk ketidakadilan. Berakhir kuasa yang kau arogansikan. Kalau kau sebut yang demikian adalah  manusia, kemudian bisa kau panggil saja aku bukan manusia. Aku takmau lagi jadi manusia. Aku mengundurkan diri sebagai manusia.

Tapi tidak. Aku akan tetap menjadi manusia. Kenyataannya begitu dan takmungkin ditolak. Takdir yang berkata. Lalu, harus bagaimana aku?

Bukannya aku ingin dimerdekakan atas keinginanku. Bukannya aku tak memperhatikan apa keinginanmu. Atau bukannya aku ingin meninggikan ego sendiri. Melainkan rasa atas keadaan. Keadaaan yang tercipta, bukan dicipta. Keadaan alami, yang seharusnya kau sadari bahwasannya semuanya tak mungkin bisa kau pegang dengan arogan. Barangkali hanya sudut pandang juga kata "arogan"ku. Namun jelas, frasa saling pengertian adalah yang terbaik sekarang.
Saling pengertian itu, bukannya memaksa satu kepentingan kepada semua orang. Melainkan saling paham bahwa saat seseorang berlawanan, saat bersilangan, menimbulkan perbedaan, adalah untuk dijadikan kemakluman. Penyeragaman atas ketidakberaturan yang dipaksakan tidak akan terbentuk menjadi kebaikan. Pengertian, toleransi, dan saling memahami. Keadaan bukan diadakan. Apa adanya bukan mengada ada.

Kalau kenyataan itu penting, ya penting. Kalau tidak penting, daripada hanya basa basi berformalitas, kenapa tidak sekalian diam saja? Bahkan hal sepele demikian justru yang kau tinggikan. Keefektifan dan kepadatan kepentingan, bukannya itu yang perlu diutamakan dalam urusan yang menyatukan keberadaan hubungan kita?

Kalau aku bilang sekarang, basa basi kau penting-pentingkan. Pertikaian kau kobarkan. Lama lama perpisahan bukan soal baik buruk, menang kalah, atau menyerah. Barangkali, tidak perlu kau sebut sebut lagi. Aku menyerah sampai di sini. Kau terima, kau tidak, kau bersua kemana, tentang apa, siapa, bagaimana, atau mengapa tentang apa-apa, sudah takkan aku pikirkan lagi.
Kau bukan aku. Aku bukan kau. Pribadiku. Pribadimu. Kita terpisah. Bertemu hanya karena sebuah kepentingan. Sisanya, perbedaan yang takberujung. Jangan main kau seragamkan dan menghilangkan keberagaman hanya karena satu kepentingan. Kau punya batasan. Begitu juga aku. Pikirkanlah. Soal perasaan, baik aku, kau, atau yang telah kau lakukan atas apa-apa, siapa-siapa, dan bagaimana. Sudahkah kau merasa? Atau barangkali aku yang terlalu banyak merasa? Padahal tidak kau rasa.

Semarang, 12 Maret 2018
Yayan Deka
(Dengan sedikit kekecewaan)