[Cerpen] SIN-TING

Oktober 09, 2017
(Src: Pixabay)
Namanku Sin. Aku pelukis. Hari ini aku melukis lagi. Sebuah wajah yang selalu terbayang di kepalaku. Seolah wajah itu telah terpatri, berbingkai, dan punya ruangnya sendiri di kepalaku. Selain di kepala, wajah itu juga menambah indah ladang bunga di hatiku. Menambah wangi hari-hariku. Dan kadang membuatku tersenyum kelu.

Aku gores pelan sekali cat minyakku ke atas kanvas. Kanvas masih putih. Aku ingin membuat lukisan tanpa kesalahan sedikitpun. Aku akan memberikan lukisan itu pada pemilik wajah yang aku lukis.

“Kau akan suka, Ting,” Aku bergumam dengan senyuman. Namun, baru dua tiga goresan, langit mulai gelap. Aku yang melukis di bawah pohon mangga segera pindah ke dalam rumah. Kenapa langit harus mendung disaat hatiku cerah begini?



“Melukis lagi, Sin?”
Ah, sial, Ting melihatku, “Iya, Ting.”
“Hujan ya di luar?”
“Benar,” Aku tersenyum, “Padahal aku sedang semangat.”
“Memangnya mau melukis apa?” Ia mendekatiku. Aku tetap diam dengan senyuman. Mungkin tingkahku malu-malu. Ah, entahlah. Jika aku beri tahu, bukan kejutan lagi namanya. Aku tetap diam hingga Ting mulai hilang dari mataku.

Aku melanjutkan lukisan wajah Ting di kamar. Kemudian tiga buah ketukan di pintu membuatku berteriak ‘masuk’. Itu ibuku. Aku melihatnya dengan senyuman hangat.
“Sin melukis lagi?” Ibuku mendekat, lalu seseorang mengikutinya dari belakang.
“Iya, bu,” Aku tersenyum lagi, malu-malu, “Wajah Ting. Mau aku hadiahkan padanya.”
Ibu balas tersenyum padaku, mengangguk-angguk seolah paham, lalu berdiri untuk berbicara dengan orang yang membuntutinya tadi. Aku tetap sibuk dalam melukisku sambil entah kenapa, aku memasang telinga baik-baik.

“Itu Sin?” Ucap orang itu.
“Benar,” Ibuku menjawab lirih, “Sudah kau lihat, kan? Bisakah Sin sembuh?”
Sembuh? Memangnya aku kenapa?
“Saya belum bisa memastikan. Namun dalam kondisinya saat ini, sepertinya dia masih bisa sembuh. Karena dia masih bisa berkomunikasi dengan baik.”
“Tolonglah Sin. Ia sangat terpukul atas kematian istrinya.”

Tunggu-tunggu. Mati? Siapa? Istriku? Yang benar saja! Aku mengernyit mendengar ucapan ibuku. Entah kenapa tiba-tiba aku menyahut dengan amarah, “Siapa yang mati? Jangan bilang yang tidak-tidak bu! Dan siapa pula yang sakit? Sin sehat!”
Ibuku mengelus dada, orang itu berkedip lebih banyak, mungkin kaget mendengar ucapanku. Kaget? Memangnya siapa yang akan lebih kaget di sini? Mereka menyebut istriku mati dan aku sakit, apa yang lebih mengejutkan? Bahkan hal itu membuatku sangat marah.

“Bisa kau sembuhkan?” Tanya ibuku lagi pada orang itu. Aku semakin tidak tahan.
“Apa maksud ibu!?” Aku melempar kuas yang aku pegang, “Aku tidak sakit!”
“Dia pasti sangat terpukul. Sin pasti sangat mencintai istrinya. Saya akan berusaha,” Orang itu tidak mempedulikan ucapanku. Ia menatapku dengan tatapan memelas. Memangnya siapa yang perlu dikasihani? Sial. Kenapa mereka begitu padaku?
“Ting sudah meninggal, nak,” Ibuku mencoba menenangkanku tanpa mendekatiku, “Beristighfarlah, nak.”
“Tidak! Aku baru saja bertemu dengannya! Tidak mungkin. Ting! Ting! Kemarilah. Tunjukkan wajahmu,” Aku berteriak keras-keras. Dan benar saja, Ting segera datang, “Lihat. Itu Ting, istriku.”
“Ada apa, kang?” Ucap Ting mendekatiku.
“Ini,” Aku segera meraih tangan Ting dan menyandarkannya pada pundakku, “Ibu dan orang itu bilang kamu sudah mati.”
“Benarkah?” Ting menghadap wajahku, lalu memelukku, “Tapi aku memang sudah mati, kang. Kau membunuhku.”

“Apa maksudmu?” Aku hendak bertanya lebih, tapi kepalaku seketika pening. Gambar-gambar berkelebat di kepalaku. Suara jeritan. Suara tangis. Dan … dan kunang-kunang beterbangan di depanku. Sekelebat aku melihat Ting tergeletak. Sekelebat aku lihat ibu menangis hendak mendekatiku tapi orang itu menahan tangannya sembari menggeleng ngeri melihatku. Ah, kepalaku pening! sangat berat!

“Tidaaakkk!” Aku mendekap kepala dengan kedua lengan yang aku tekuk. Berat sekali, kepalaku seolah ditimpa gunung. Kemudian kelebat gambar lain memenuhi pandanganku. Merah. Terlihat merah di mana mana. Aku tidak kuat.

“Tiiiing!” Aku berteriak histeris. sekelebat lagi, bibirku berucap sendiri, saat bayangan Ting menangis di depanku, “Kenapa kau selingkuh? Aku sangat mencintaimu! Kenapa? Kenapa kau mengkhianatiku? Kenapa Ting, kenapa?”

Air mataku telah mengucur deras entah sejak kapan. Dan saat aku usap mataku, darah mengalir dari tanganku. Bau amis menyeruak sampai ke hidungku. Kemudian aku lihat Ting tergeletak bersimbah darah di depanku. Aku bingung. Benarkah ini ingatanku? Aku kaku, kelu, dan tercengang dengan penglihatanku.
Apa yang salah denganku? Kenapa ibu menangis-nangis melihatku?

***
26 Agustus 2017
Yayan Deka