[Cerpen] Malam Tanpa Dewi

Oktober 07, 2017
(Src: Pixabay)
Suara itu, aku menyadarinya. Mungkin tak ada yang sadar. Mungkin juga tak ada yang tahu. Mungkin juga hanya aku. Hanya aku yang begitu  memikirkan, atau hanya aku yang menganggapnya. Suara sepi dini hari. Jangkrik di dalam kurungan bambu yang ditumpuk, digantung di dapur, sudah berbunyi sejak tiga jam lalu. Sesekali, atau mungkin telah puluhan kali, aku-pun merasa mati, lalu hidup, mati lagi, hidup lagi. Secangkir kopi yang kusiapkan sejak tiga jam lalu tidak manjur. Tumpukan buku masih belum kupegang sedikitpun. Namun rasa ini masih tak tertahankan. Kewajiban yang kubuat sendiri ini akhirnya tak mampu kupuaskan. Aku mulai terlelap, setengah sadar-tidak sadar. Kutempelkan pipi tirus ini ke atas lengan yang kulipat di atas tumpukan buku. Jendela kamar di depanku-pun belum sempat kututup. Membuat berkas-berkas cahaya bulan menerobos kamar yang temaram, karena hanya lampu belajar di meja yang bercahaya di kamar seluas duabelas meter persegi ini.
“Eh, nak udah jam lima! Bangun! Sholat dulu gih!”
“Ehmm, bentar lagi bu.”
“Bu?” Bodohnya pikirku. Masih saja bermimpi. Kutatap jam dinding di samping kiri meja belajarku. Lalu aku beralih menatap tempat tidur di kananku. Ah, begitu menggoda, tiga jam tidur terduduk, lalu melihat kasur empuk di sampingku. Tak lagi tertahankan. Kurebahkan sejenak punggungku yang terasa kaku. “Uh,” aku menggeliat sebentar.
“Bodoh!” Aku mulai ingat sesuatu. Bisa-bisanya aku berleha-leha di tempat tidur. Dengan semangat yang terpaksakan, aku turun. Mulai berjalan, berniat membuka pintu. Kukucek sesekai kotoran sisa tidur di mataku. Aku mulai berjalan mendekat ruang sebelah. Kubuka tirai hijau berenda yang menutup pintunya. “Yah? Bangun, udah jam lima! Sholat dulu yuk.”
Melihat ayah yang belum juga menggeliat, aku mendekatinya. Menggoyang-goyangkan tubuhnya, “yah?”
“Astaghfirullah, panas banget. Ayah demam. Bentar yah, Ahlam ambil kompres dulu.” Seketika mataku mulai melebar. Malas ini mati, lalu tumbuh iba, bingung, takut, khawatir, dan rasa lainnya yang tak ku tahu apa itu. Kakiku berjalan cepat di rumah sempit nan sederhana ini. Pikirku mulai macam-macam. Kuambil baskom, kuisi air dari jembangan. Kakiku masih bergerak sana sini, lalu mulai kembali ke kamar ayah, dengan tangan menyambar handuk kecil dari lemariku, yang jarang kupakai. Segera kumasukkan handuk itu dalam baskom, kuperas kemudian. Lalu kutempelkan di jidat ayahku. Rasaku masih tak jelas. “Astaghfirullah!” Kembali aku tersadar.
“Sholat subuh!” Tangan kananku menampar jidatku sendiri. Kembali kakiku jalan cepat ke belakang rumah, mengambil air wudlu. Temaram pagi ini menemani wudluku, dengan sesekali katak di sawah menyemangati. Gerimis di luar membuat semakin dingin. Kulit ini, macam kehilangan darah, memutih dan membiru di bagian otot. Namun kutahankan, ku tengadahkan kedua tangan menghadap kiblat. Seraya memanjatkan doa setelah bersuci hendak menjalankan kewajiban sebagai  umat salah satu dari beragam agama yang ada di dunia.
Setelahnya, kumintakan kesembuhan ayahku. Aku berharap doaku terkabul lebih cepat. Aku duduk lebih lama dari biasanya, meminta lebih kepada Sang Pencipta. Karena hanya kepadaNya-lah aku bisa mengadu dan meminta. Aku bukan siapa-siapa, atau apa, melainkan hanya hamba yang tak berdaya. Sesekali tetes air dari mata mulai terjatuh. Mengingat, aku sendiri begitu banyak dosa, dan sekarang kuminta lebih. Namun bagaimana lagi, kemana lagi  harus kuminta pertolongan selain kepadaNya? Kepada katak di sepetak sawah, di belakang rumah?
Sulit untuk dipercaya. Saat kutempelkan punggung tanganku ke jidat ayah, sebelum kuganti kompresan, tangan ini terasa mulai dingin. Bibir ini juga ikut memucat, demam ayah tidak turun sedikitpun. Malah bertambah. Badai besar mulai bergemuruh di dalam otakku. Mataku mulai menerawang tak jelas, jelalataan kesana kemari.
“Kupanggil ambulan?” Tanyaku membatin diri sendiri. “Ah, tidak. Uang dari mana?”
“Kubawa ke rumah sakit?” Kembali lampu kuning muncul di kepalaku. “Ah, tidak. Mau pake apa? Motor gak mungkin, ayah udah terlanjur gak bisa bangun.”
Bermodal nekat saja takkan cukup. Aku perlu biaya, aku perlu uang yang tak sedikit untuk memanggil ambulan. Namun, sejauh yang kutahu, takkan datang begitu saja ambulan itu. Apalagi aku, anak petani sepetak sawah di belakang rumah, yang memanggilnya, yang belum dipastikan akan mampu membayar biaya kesehatan yang melangit. Memang program-program seperti “Jaminan Kesehatan Rakyat” sudah dicanangkan, tapi aku ini terlanjur kaya. Tidak terdaftar program seperti itu. Ayahku, petani kecil, lebih kaya dari mereka yang  punya mobil dua, mereka yang berumah tingkat dua, dan mereka yang berdasi. Jadi, kami tak pantas mendapatkan program seperti itu, merekalah yang lebih memerlukan.
Pikiran ini mulai buntu. Tak ada cara lain lagi. Akan kulakukan itu, yang terpenting dan paling genting sekarang. Kupijat layar smartpone yang kudapatkan dari lomba menulis oleh sebuah penerbit buku. Sesaat kemudian kuucap, “terimakasih banyak.”
“Akhirnya,” aku menghela napas, menatap ayah yang terbaring. Namun aku bersyukur, karena ia tak lagi terbaring di atas tempat tidur. Melainkan di dalam salah satu ruang pasien di rumah sakit  Fatmawati yang berjarak tujuh kilo dari rumahku.
“Tapi, kenapa Yah?” Air sebesar biji kacang hijau jatuh tanpa komando atau parasut ke lantai. Kedua tanganku menggenggam erat tangan ayah. Sesekali kucium, kuelus, dan kutetesi dengan air mata. Dokter di sampingku hanya menepuk-nepuk pundakku. Aku yang duduk dengan kedua lututku tak menghiraukan tepukannya. Aku hanya menghiraukan sebuah raga di depanku, yang tengah terbaring lunglai, yang mulai beku, yang tak mungkin menatap atau tersenyum apalagi menasehatiku lagi.
Aku masih meneteskan air mata. Kejantananku serasa mulai hilang ditelan duka. Keikhlasanku belum juga datang, ataupun semangat dan impian. Tapi apalah guna. Aku hanya ingin mereka menatapku, tersenyum padaku yang sukses mengejar mimpi. Namun mereka pergi mendahului pencapaian mimpiku. Untuk siapa lagi aku berjuang? Jika saja tak ada larangan, jika saja tak membebankan mereka di dunia setelah ini, jika saja mereka takkan bertanggung jawab terhadapku kelak, dan jika saja aku bisa bertemu mereka, aku akan menyusulnya. Pisau tergeletak di dapur, gunting di atas mejaku, kaca di jendela kamarku, kurang apa? Jika saja aku berani nekat, kupastikan gunting ini mencabik perutku, memotong ususku Jendela itu jelas akan pecah, lalu pecahannya menghancurkan tenggorokanku, pisau di dapur akan berpindah ke leherku, lalu cairan merah kental akan membasahiku. Namun, apa aku bisa bertemu mereka, orang  tuaku, setelah kulakukan itu? Untuk memikirkannya saja, aku tak sanggup. Apalagi melakukan hal gila yang jelas-jelas dilarang dan membebabi tanggungan mereka terhadapku di alam sana. Maka, hanya air ini, air mata, yang mampu ku keluarkan, air yang berisi segala rasaku, yang terkandung serpihan hatiku. Selain itu, berhubung aku tak bisa berjumpa lagi dengan mereka, hanya bisa ku kirimkan doa terhadap mereka, semoga sampai dan terkabul. “Berikanlah ayah dan ibuku tempat yang pantas di sisiMu. Aamiin.”
Malam ini makin terasa. Jeritan jangkrik di dapur mulai terdengar. Kadang terdengar juga nyanyian bangkong, katak besar, di sawah. Ku tatap lewat jendela, dewi malam yang biasa menemaniku absen. Sebagai gantinya, langit mengirimkanku air. Mungkin untuk menggantikan air mataku yang habis, meninggalkan jendul di mataku.
Malam ini sangat berbeda. Tak ada tumpukkan buku di atas meja. Tak ada pula temaram ruangan. Lampu belajar ini tak memancarkan cahayanya. Jika didengar baik-baik, terdengar suara “tut” berulang dengan teratur dari sikring depan rumah. Namun tak kuhiraukan semua itu. Termasuk buku-buku yang berserakan di lantai bersama dengan selimut dan bantal, atau meja yang sudah ku tarik mendekat pintu kamar. Aku hanya duduk bersidakep di kursi yang sengaja ku letakkan di depan jendela kamar. Membiarkan bayu membawa butiran hujan, menerobos kamar untuk membuatku menggigil. Tak ada rencanaku untuk segera pergi ke alam bawah sadarku atau sekadar menutup mata dan membaringkan tubuhku. Bukan hanya rencana yang hilang, sepertinya sebagian otakku ikut menghilang. Mungkin jatuh di rumah sakit, atau terbawa ayah. Namun tak mengubah tatapanku. Aku masih bisa menatap jauh, ke titik pangkal pertemuan langit dan daratan melalui jendela.  Berharap ayah berjalan, tersenyum ke arahku, bersamaan dengan ibu di sampignya.


“Yah, bu?” Aku berdiri, merekahkan senyumku di depan jendela kamar, di tengah malam tanpa dewi, dengan tangan menggenggam smartphone yang kutempelkan telinga, meski mulai kuturunkan tanganku. Air ini kembali berlinang. “Aku nggak mau ini kalo kalian pergi sebagai gantinya.”


30 Agustus 2017
Yayan Deka